Wednesday, April 8, 2015

Mutiara Demokrasi dari Bonyoh-Kintamani


 
Demokratisasi yang Terkibuli
Visi, Misi, Kebijaksanaan  dan Program pemerintah saat ini adalah mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender  dalam setiap lini pemerintahan  dan pembangunan sehingga pemberdayaan perempuan kedepan selain diharapkan semakin memberikan dampak (impact) yang significant terhadap tatanan dan sistem pemerintah juga diharapkan semakin sesuai dengan cara pandang baru (new paradigm) dan prinsip-prinsip good governance.
Realitas sosial Bali, dengan tradisi agama dan adat yang inherent memberi ruang peluang bagi munculnya kesadaran perempuan Bali, berpartisipasi dan meningkatkan dirinya. Sistem sosial maupun sistem pengetahuan masyarakat Bali adalah legitimasi bagi perempuan untuk mengambil peran sejauh mungkin dari pada sektor domestik yang selama ini melingkupinya.
Namun realitas ini menjadi kontraproduktif ketika sistem sosial sebagai satuan dinamika masyarakat berupa struktur ide, struktur sosial, maupun aktifitas adat, yang berkembang tidak dipahami secara kritis, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun kaum perempuan. Ada wilayah ketabuan yang  terlegitimasikan dan di-legitimasi bagi kaum  perempuan. Adat atau tradisi selalu dipahami seolah-olah penghalang kemajuan sosial dan bukan motivator. Hal ini dipahami kembali bahwa adat atau tradisi juga memberi peluang bagi munculnya kemajuan bagi dirinya. Untuk itu perlu sikap dan aktifitas kritis yang dikaitkan dengan perkembangan dan perubahan sebagai paradigma baru. Sehingga pengibulan demokrasi dalam kontek laki-perempuan (gender) tidak terulang dalam sejarah peradaban manusia. Mereka harus sejajar, seirama, dan sepenanggungan akan pertanggungjawaban sejarah kemanusiaan.

Peran Krama Istri dalam Perjuangan Demokrasi
            Mengingat “ketertindasan” kaum perempuan oleh dominasi kaum laki yang terkadang sering dijumpai pada masyarakat moderen saat ini. Baik tertindas oleh aturan normatif yang tertulis, maupun adat kebiasaan suatu daerah. Dimana pada kondisi ini perempuan tanpa daya untuk melawan. Tetapi tidak demikian halnya kaum perempuan desa adat Bonyoh. Mereka melawan kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan. Melakukan gerakan reformasi sebagaimana Indonesia di tahun 1998. Krama istri desa adat bonyoh dengan gigih memperjuangkan hak-hak kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini merupakan proses penting dalam pemberdayaan dan peningkatan kesetaraan gender. Bagi daerah Bangli sendiri, hal ini merupakan potensi pengembangan sumber daya manusia khususnya kaum perempuan yang harus dibina, dilestarikan dan dikembangkan terus. Aktifitas seperti ini merupakan mutiara ditengah deraian lumpur pengingkaran demokrasi.
Adapun aktifitas yang dilakukan oleh krama istri desa adat Bonyoh adalah  terselenggaranya berbagai diskusi. Diskusi tersebut sudah dilakukan secara rutin setiap tanggal 13 bulan bersangkutan. Adapun masalah yang dibahas tidak terbatas masalah perempuan yang biasanya masalah PKK. Posyandu, Arisan, tetapi sudah masuk pada hal-hal yang mendiskriditkan kaum perempuan. Tema yang menjadi isi diskusi krama istri tersebut adalah pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kumpul kebo, kawin berkali-kali (kawin-cerai), suami ingin cari istri ke dua, kasus perselingkuhan, suami suka berjudi, penceraian harus ada awig-awig yang mengaturnya dan masalah pembagian harta gono gini, istri tidak diberi nafkah, belum ada perempuan yang duduk dalam sistem pemerintahan di desa, dan masalah perempuan menuntut untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan (dinas dan adat).
Apa yang dilakukan oleh krama istri desa adat Bonyoh tidak hanya sampai batas pembahasan saja, tetapi lebih jauh yakni pengusulan memasukkan pada awig-awig. Karena menurut mereka aturan adat tradisi berbentuk awig-awig ini diharapkan menjadi wadah legitimasi kultural bagi perjuangan perempuan dalam mengembangkan dirinya. Tentu aspek yang diambil adalah sisi hukum berdasar norma, etika, kesepakatan-kesepakatan yang di wariskan secara turun temurun, dilihat dan dinilai secara kritis dan rasional. Kritis dan rasional ini diartikan bukan memahami aturan adat dalam awig–awig tersebut dalam konteks tanpa batas tetapi melihat kembali relevansinya acceptabilitasnya dengan situasi dan perkembangan zaman, khususnya bagi aspirasi dan kepentingan perempuan. Krama istri desa adat Bonyoh juga menyadari bahwa masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal secara budaya masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Sistem kekerabatan ini juga memunculkan ideology gender bahwa laki-laki merasa superior dan mempunyai otoritas tinggi dalam keluarga dan masyarakat.
            Adapun hasil musyawarah krama istri desa adat bonyoh adalah mengusulkan tentang masalah pemerkosaan. Bagi yang melakukan pemerkosaan didenda Rp 100.000,- kali  jumlah banjar ditambah membayar panca sata petelah di adat. Pemerkosaan di bawah umur sanksi denda dua kali lipat disamping sudah membayar sanksi di adat, urusan dengan pihak berwajib sangat perlu dilakukan. Kemudian masalah kekerasan dalam rumah tangga. Kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga, contoh: Seandainya istri dipukul suami, suami dikenai denda Rp 100.000,- kali jumlah banjar. Dan istri boleh melapor ke Bendesa, Perbekel dan pihak berwajib. Hal ini merupakan bentuk adpokasi bagi kaum perempuan dalam menjaga kehormatan, sebagai insan yang sama memiliki hak azasi manusia, yakni dapat hidup merdeka tanpa bayang-bayang kekerasan dari kaum laki baik suami, bapak, maupun teman laki. Dengan dimasukkannya aturan tersebut, maka psikologi masyarakat akan berubah dalam memandang posisi kaum perempuan.
Pelecehan seksual (menyolek yang terlarang) denda Rp100.000,- kumpul kebo, kalau ada muda-mudi yang kumpul kebo dikenai sanksi. Bagi yang melakukannya harus dikawinkan, kalau tidak mau dikawinkan dikenai denda jinah bolong kuno 1000 kepeng berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kawin berkali-kali (kawin-cerai). Dengan sanksi ; tidak dilayani adat maupun dinas, tidak berlaku bagi yang tidak punya keturunan, denda jinah bolong kuno 2000 kepeng berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dari aturan ini juga memberikan ketegasan tanggungjawab kaum laki terhadap perbuatan yang ditimpakan kepada kaum perempuan. Karena hamil di luar nikah yang tidak dikawini oleh “laki pembuatnya” maka akan membuat “kerugian” bagi kaum perempuan baik secara materi maupun secara psikologis. Walaupun si perempuan ikut bersalah dalam hal ini. Kalau hal ini dbiarkan, maka akan menciptakan trauma bagi kaum perempuan untuk bersahabat dengan kaum laki. Apabila ini menjadi sebuah kebiasaan, maka terlakirlah kaum perempuan yang tertutup dengan kaum laki-laki. Maka dengan aturan “laki pembuat hamil” harus menikahi merupakan aturan yang dapat mencegah munculnya kaum perempuan yang tertutup.
Suami ingin mencari istri kedua, sanksinya suami dan istri kedua beserta anak-anaknya kehilangan hak atas harta kekayaan yang dimilikinya. Bila ada yang melakukan perselingkuhan, sanksinya adalah diarak keliling desa. Bila ada suami yang berjudi maka sanksinya adalah tidak diberikan uang. Masalah penceraian dan pembagian harta gono gini, sanksinya adalah siapa yang bersalah mendapat pembagian harta yang lebih sedikit. Adapun persentase yang disepakati adalah 75% : 25%. Bila ada peristiwa istri tidak diberi nafkah maka sanksinya adalah, kalau memang suamiya tidak mau bertanggung jawab. Punya uang tapi tidak mau memberikan kepada istrinya maka harus diselesaikan dengan intern lebih dulu, namun kalau masalahnya melebar sampai pada kekerasan maka harus dilaporkan.
Krama istri  duduk dalam sistem dalam pemerintahan di desa. Krama istri dilibatkan dalam setiap pengambilan putusan baik dinas maupun adat. Hasil dari aspirasi perempuan dalam penyuratan awig-awig adalah sebagai berikut: Awig-awig yang sekarang di buat sudah mulai memakai masukan dan pemikiran dari kaum perempuan.
Materi dan proses pembuatan awig-awig sepantasnya mempertimbangkan aspirasi dan rasa keadilan dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. Membuat tim kecil yang terdiri dari warga laki-laki dan perempuan yang berpotensi dan punya wawasan yang luas tentang masa lalu, masa kini dan masa depan, yang akan bertugas merumuskan dan membuat konsep awig-awig. Memberikan kesempatan bagi warga perempuan yang berkeinginan dan berkepentingan untuk ikut mendiskusikan materi awig-awig. Peran perempuan dalam permusyawaratan desa dan bidang-bidang lain. Setiap ada musyawarah baik itu di desa maupun di banjar kaum perempuan sudah di undang untuk urun pendapat. Dengan adanya peran tersebut, maka kewibawaan perempuan sebagai sesama warga desa adat, semakin meningkat. Kesetaraan benar-benar terjaga.
Hal yang sudah dilakukan terkait dengan pemberdayaan perempuan dalam keikutsertaannya pada organisasi kemasyarakatan, juga banyak dilakukan. Membentuk organisasi perwakilan yang dinamai LPM dengan 33,4 % dari unsur perempuan merupakan prestasi yang melebihi standar yang berlaku yakni minimal 30 %. Prestasi ini merupakan cerminan betapa krama istri desa adat Bonyoh memang benar-benar berdaya guna. Pembentukan organisasi sebagai wadah kaum perempuan berkumpul dan berdiskusi merupakan langkah tepat memberdayakan perempuan. Karena dengan wadah-wadah tersebut akan tertempa dengan terus-menerus kaum perempuan desa adat Bonyoh. Bagaimana membuat planning atau perencanaan, membuat organizing atau mengorganisasikan perencanaan, actuating atau pelaksanaan dan evaluating atau penilaian. Dengan berprosesnya kaum perempuan dalam berbagai organisasi, maka kesetaraan gender akan semakin cepat tercapai. Dengan berdayanya gender serta terciptanya kesetaraan diantara keduanya ;laki dan perempuan ; krama lanang utawi istri, maka demokrasi  akan terwujud dan kesejahteraan akan senantiasa mengiringinya.






No comments:

Post a Comment