Demokratisasi
yang Terkibuli
Visi, Misi, Kebijaksanaan dan Program pemerintah saat ini adalah
mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam setiap lini
pemerintahan dan pembangunan sehingga
pemberdayaan perempuan kedepan selain diharapkan semakin memberikan dampak (impact) yang significant terhadap
tatanan dan sistem pemerintah juga diharapkan semakin sesuai dengan cara
pandang baru (new paradigm) dan
prinsip-prinsip good governance.
Namun realitas ini menjadi kontraproduktif ketika sistem
sosial sebagai satuan dinamika masyarakat berupa struktur ide, struktur sosial,
maupun aktifitas adat, yang berkembang tidak dipahami secara kritis, baik oleh
masyarakat itu sendiri maupun kaum perempuan. Ada wilayah ketabuan yang terlegitimasikan dan di-legitimasi bagi
kaum perempuan. Adat atau tradisi selalu
dipahami seolah-olah penghalang kemajuan sosial dan bukan motivator. Hal ini
dipahami kembali bahwa adat atau tradisi juga memberi peluang bagi munculnya
kemajuan bagi dirinya. Untuk itu perlu sikap dan aktifitas kritis yang
dikaitkan dengan perkembangan dan perubahan sebagai paradigma baru. Sehingga
pengibulan demokrasi dalam kontek laki-perempuan (gender) tidak terulang dalam
sejarah peradaban manusia. Mereka harus sejajar, seirama, dan sepenanggungan
akan pertanggungjawaban sejarah kemanusiaan.
Peran Krama Istri dalam
Perjuangan Demokrasi
Mengingat
“ketertindasan” kaum perempuan oleh dominasi kaum laki yang terkadang sering
dijumpai pada masyarakat moderen saat ini. Baik tertindas oleh aturan normatif
yang tertulis, maupun adat kebiasaan suatu daerah. Dimana pada kondisi ini
perempuan tanpa daya untuk melawan. Tetapi tidak demikian halnya kaum perempuan
desa adat Bonyoh. Mereka melawan kebiasaan yang sudah turun-temurun dilakukan.
Melakukan gerakan reformasi sebagaimana Indonesia di tahun 1998. Krama istri desa adat bonyoh dengan
gigih memperjuangkan hak-hak kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini
merupakan proses penting dalam pemberdayaan dan peningkatan kesetaraan gender.
Bagi daerah Bangli sendiri, hal ini merupakan potensi pengembangan sumber daya
manusia khususnya kaum perempuan yang harus dibina, dilestarikan dan
dikembangkan terus. Aktifitas seperti ini merupakan mutiara ditengah deraian
lumpur pengingkaran demokrasi.
Adapun aktifitas yang dilakukan oleh krama istri desa adat Bonyoh adalah terselenggaranya berbagai diskusi. Diskusi
tersebut sudah dilakukan secara rutin setiap tanggal 13 bulan bersangkutan.
Adapun masalah yang dibahas tidak terbatas masalah perempuan yang biasanya
masalah PKK. Posyandu, Arisan, tetapi sudah masuk pada hal-hal yang mendiskriditkan
kaum perempuan. Tema yang menjadi isi diskusi krama istri tersebut adalah
pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, kumpul kebo,
kawin berkali-kali (kawin-cerai), suami ingin cari istri ke dua, kasus
perselingkuhan, suami suka berjudi, penceraian harus ada awig-awig yang
mengaturnya dan masalah pembagian harta gono gini, istri tidak diberi nafkah,
belum ada perempuan yang duduk dalam sistem pemerintahan di desa, dan masalah perempuan
menuntut untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan (dinas dan adat).
Apa yang dilakukan oleh krama istri desa adat Bonyoh
tidak hanya sampai batas pembahasan saja, tetapi lebih jauh yakni pengusulan
memasukkan pada awig-awig. Karena menurut mereka aturan adat tradisi berbentuk
awig-awig ini diharapkan menjadi wadah legitimasi kultural bagi perjuangan
perempuan dalam mengembangkan dirinya. Tentu aspek yang diambil adalah sisi
hukum berdasar norma, etika, kesepakatan-kesepakatan yang di wariskan secara
turun temurun, dilihat dan dinilai secara kritis dan rasional. Kritis dan
rasional ini diartikan bukan memahami aturan adat dalam awig–awig tersebut
dalam konteks tanpa batas tetapi melihat kembali relevansinya acceptabilitasnya dengan situasi dan
perkembangan zaman, khususnya bagi aspirasi dan kepentingan perempuan. Krama
istri desa adat Bonyoh juga menyadari bahwa masyarakat Bali
yang menganut sistem kekerabatan patrilineal secara budaya masih menempatkan
perempuan pada posisi subordinat. Sistem kekerabatan ini juga memunculkan
ideology gender bahwa laki-laki merasa superior dan mempunyai otoritas tinggi
dalam keluarga dan masyarakat.
Adapun hasil
musyawarah krama istri desa adat
bonyoh adalah mengusulkan tentang masalah pemerkosaan. Bagi yang melakukan pemerkosaan
didenda Rp 100.000,- kali jumlah banjar
ditambah membayar panca sata petelah di adat. Pemerkosaan di bawah umur sanksi
denda dua kali lipat disamping sudah membayar sanksi di adat, urusan dengan
pihak berwajib sangat perlu dilakukan. Kemudian masalah kekerasan dalam rumah
tangga. Kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga, contoh: Seandainya istri
dipukul suami, suami dikenai denda Rp 100.000,- kali jumlah banjar. Dan istri
boleh melapor ke Bendesa, Perbekel dan pihak berwajib. Hal ini merupakan bentuk
adpokasi bagi kaum perempuan dalam menjaga kehormatan, sebagai insan yang sama
memiliki hak azasi manusia, yakni dapat hidup merdeka tanpa bayang-bayang
kekerasan dari kaum laki baik suami, bapak, maupun teman laki. Dengan
dimasukkannya aturan tersebut, maka psikologi masyarakat akan berubah dalam
memandang posisi kaum perempuan.
Pelecehan seksual (menyolek yang terlarang) denda
Rp100.000,- kumpul kebo, kalau ada muda-mudi yang kumpul kebo dikenai sanksi.
Bagi yang melakukannya harus dikawinkan, kalau tidak mau dikawinkan dikenai
denda jinah bolong kuno 1000 kepeng
berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kawin berkali-kali (kawin-cerai). Dengan
sanksi ; tidak dilayani adat maupun dinas, tidak berlaku bagi yang tidak punya
keturunan, denda jinah bolong kuno
2000 kepeng berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dari aturan ini juga
memberikan ketegasan tanggungjawab kaum laki terhadap perbuatan yang ditimpakan
kepada kaum perempuan. Karena hamil di luar nikah yang tidak dikawini oleh
“laki pembuatnya” maka akan membuat “kerugian” bagi kaum perempuan baik secara
materi maupun secara psikologis. Walaupun si perempuan ikut bersalah dalam hal
ini. Kalau hal ini dbiarkan, maka akan menciptakan trauma bagi kaum perempuan
untuk bersahabat dengan kaum laki. Apabila ini menjadi sebuah kebiasaan, maka
terlakirlah kaum perempuan yang tertutup dengan kaum laki-laki. Maka dengan
aturan “laki pembuat hamil” harus menikahi merupakan aturan yang dapat mencegah
munculnya kaum perempuan yang tertutup.
Suami ingin mencari istri kedua, sanksinya suami dan
istri kedua beserta anak-anaknya kehilangan hak atas harta kekayaan yang
dimilikinya. Bila ada yang melakukan perselingkuhan, sanksinya adalah diarak
keliling desa. Bila ada suami yang berjudi maka sanksinya adalah tidak
diberikan uang. Masalah penceraian dan pembagian harta gono gini, sanksinya
adalah siapa yang bersalah mendapat pembagian harta yang lebih sedikit. Adapun
persentase yang disepakati adalah 75% : 25%. Bila ada peristiwa istri tidak
diberi nafkah maka sanksinya adalah, kalau memang suamiya tidak mau bertanggung
jawab. Punya uang tapi tidak mau memberikan kepada istrinya maka harus
diselesaikan dengan intern lebih dulu, namun kalau masalahnya melebar sampai
pada kekerasan maka harus dilaporkan.
Krama istri duduk
dalam sistem dalam pemerintahan di desa. Krama istri dilibatkan dalam setiap
pengambilan putusan baik dinas maupun adat. Hasil dari aspirasi perempuan dalam
penyuratan awig-awig adalah sebagai berikut: Awig-awig yang sekarang di buat
sudah mulai memakai masukan dan pemikiran dari kaum perempuan.
Materi dan proses pembuatan awig-awig sepantasnya mempertimbangkan
aspirasi dan rasa keadilan dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. Membuat
tim kecil yang terdiri dari warga laki-laki dan perempuan yang berpotensi dan
punya wawasan yang luas tentang masa lalu, masa kini dan masa depan, yang akan
bertugas merumuskan dan membuat konsep awig-awig. Memberikan kesempatan bagi
warga perempuan yang berkeinginan dan berkepentingan untuk ikut mendiskusikan
materi awig-awig. Peran perempuan dalam permusyawaratan desa dan bidang-bidang
lain. Setiap ada musyawarah baik itu di desa maupun di banjar kaum perempuan
sudah di undang untuk urun pendapat. Dengan adanya peran tersebut, maka
kewibawaan perempuan sebagai sesama warga desa adat, semakin meningkat.
Kesetaraan benar-benar terjaga.
Hal yang sudah dilakukan terkait dengan pemberdayaan
perempuan dalam keikutsertaannya pada organisasi kemasyarakatan, juga banyak
dilakukan. Membentuk organisasi perwakilan yang dinamai LPM dengan 33,4 % dari
unsur perempuan merupakan prestasi yang melebihi standar yang berlaku yakni
minimal 30 %. Prestasi ini merupakan cerminan betapa krama istri desa adat Bonyoh memang benar-benar berdaya guna.
Pembentukan organisasi sebagai wadah kaum perempuan berkumpul dan berdiskusi
merupakan langkah tepat memberdayakan perempuan. Karena dengan wadah-wadah
tersebut akan tertempa dengan terus-menerus kaum perempuan desa adat Bonyoh. Bagaimana
membuat planning atau perencanaan,
membuat organizing atau mengorganisasikan perencanaan, actuating atau
pelaksanaan dan evaluating atau penilaian. Dengan berprosesnya kaum perempuan
dalam berbagai organisasi, maka kesetaraan gender akan semakin cepat tercapai.
Dengan berdayanya gender serta terciptanya kesetaraan diantara keduanya ;laki
dan perempuan ; krama lanang utawi istri,
maka demokrasi akan terwujud dan
kesejahteraan akan senantiasa mengiringinya.
No comments:
Post a Comment