Indonesia merupakan negara besar dan sangat plural, baik karakteristik
wilayah maupun penduduk. Pluralitas tersebut tidak hanya secara geografis
(kewilayahan), tetapi juga sosiologis (kemasyarakatan) dan teologis
(kepercayaan) yang menyebabkan perbedaan cara hidup sehingga menjadi kultur
(budaya) yang berbeda, dengan ini Indonesia dikenal sebagai bangsa
yang multikultur. Hal ini dikatakan oleh Masdar Hilmy seorang dosen IAIN Sunan
Ampel Surabaya, sebagai pedang “bermata ganda” karena disatu sisi ia merupakan
modalitas yang bisa menghasilkan energi positif, disisi lain bisa menjadi
ledakan destruktif yang menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan
manakala keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan baik.
Salah satu faktor kegagalan rezim Orde Baru dalam
mengelola multikulturalisme adalah karena selain menggunakan cara-cara
represif, mereka juga amat terobsesi melakukan penyatuan dan penyeragaman
sosial budaya melalui penipuan-penipun tafsir idiologis. Pengekangan munculnya
variasi praksis disegala lini kehidupan menjadikan bangsa yang jauh dari
kreatifitas bernalar dan kematangan pola pikir. Pengekangan-pengekangan ini
juga terjadi pada dunia pendidikan yang notabene merupakan agen pembaharu suatu
bangsa. Sekolah lebih merupakan pewarisan budaya, dan kurang memberikan ruang
dialektika untuk mengkritisi budaya tersebut, dengan demikian kreatifitas
yang berdaya temu sangat minim terjadi.
Budaya dan sejarah yang diwariskan sudah diatur sedemikian rupa lewat buku-buku
terbitan penguasa sehingga hanya menguntungkan pihak penguasa dan mengorbankan
pihak-pihak yang idealis pada bangsa ini. Kampus-kampus tidak merdeka dalam
menelorkan ide dan gagasan, kebranian kritisnya dibungkam oleh gerakan militer
yang represif. Para intelektual dipaksa
berbicara satu dan sering diluar hati nurani dan kebenaran ilmiah yang
metodologis, dan diarahkan hanya untuk membenarkan langkah penguasa. Data-data
statistik dimanipulasi untuk menghibur rakyat, serta bahasa tafsir dari data
direkayasa sehingga negara kita terkesan berhasil. Informasi internasional yang
positif sebagai pembanding tidak diperkenankan masuk dan informasi kegagalan
langkah penguasa didalam negeri juga disensor.
Hal di atas sangat
ditentukan dengan diberlakukannya sistem negara sentralistik, termasuk pada
bidang pendidikan. Paradigma pendidikan sentralistik yang berbasis penyeragaman
identitas sosial budaya ala Orde Baru terbukti tidak mampu menyangga
multikulturalitas kebangsaan yang unik di Indonesia. Sehingga pada saatnya,
yakni tahun 1998 meledaklah “magma kemarahan rakyat” yang tersalur dari detakan langkah sang
Mahasiswa. Pada saat itu Indonesia
mati dari ketertindasan pikir dan terlahir menjadi manusia yang “merdeka
kedua-kalinya”. Merdeka dari penjajah asing ditahun 1945 dan merdeka dari
kediktatoran dan pembungkaman rezim Orde Baru.
Konflik horizontal
yang disebabkan karena ledakan kebebasan rakyat yang tidak terkontrol sehingga
tumbangnya rezim diktator juga disertai berbagai gejolak sosial. Masyarakat
yang dibutakan dari wacara perbedaan terpaksa berhadapan dengan realita
multikulturalisme, sehingga konflik antaretnik tidak dapat dielakkan lagi.
Bukti nyata yakni meletusnya tragedi Sampit di Kalimantan. Konflik juga terjadi
antara agama yakni di Maluku dan Poso. Puncak ketidak puasan rakyat meledak
dengan semakin bangkitnya gerakan
Sparatis di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdekanya dan berkibarnya Bendera Gerakan
Papua Merdeka di Irian Jaya.
Menurut Masdar Hilmy harus dilakukan dua pembenahan
terhadap mispersepsi tentang multikulturalisme, sehingga multikulturalisme
memang benar-benar “cantik” dalam sosiologi kebangsaan untuk itu sangat perlu
dilestarikan. Pembenahan pertama menyangkut basis epistemologis
multikulturalisme yang hingga kini belum banyak di pahami khalayak secara
proporsional. Harus di akui, pemahaman masyarakat tentang multikulturalisme
masih sebatas pada keanekaragaman kondisi sosial budaya yang dimiliki bangsa
kita. Padahal, paradigma multikulturalisme meniscayakan pemahaman bahwa
elemen-elemen sosial budaya bangsa harus bersifat inklusif, membuka diri
terhadap elemen-elemen lain dari luar, dan berani berdialog satu sama lain.
Masyarakat harus membiarkan elemen-elemen sosial budaya saling berdialog,
bahkan “bertikai”, di tingkat epistemologis dalam dikursus yang fluid, melting,
dan tidak represif. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu
memerankan dirinya sebatas sebagai “arbiter”, penengah bagi proses
rekonsiliasi, ketika proses dialektika itu menemui titik jenuh. Untuk keperluan
ini, masyarakat dituntut selalu meningkatkan “kecerdasan emosional” agar mereka
memiliki sensitivitas, sensibilitas, apresiasi, simpati, dan empati terhadap
kelompok lain. Kercerdasan dalam wilayah ini, harus disertai dengan kepekaan
membaca kondisi real, baik secara historis, sosiologis maupun psikologis.
Penilaian-penilain yang hanya sektoral cendrung tidak berimbang dan sangat
menyesatkan, sehingga pemahaman secara epistemologis harus benar-benar
proporsional.
Pembenahan yang kedua yakni pada
basis teologis, tidak bisa di pungkiri, sistem teologi yang dikembangkan di
lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya pemahaman paradigma
multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi. Doktrin agama sering di jadikan pembenar bagi
terjadinya konflik antaragama. Disini masih berkembang epistemologi “pahlawan
agama” yakni orang yang berjuang atas panggilan agama. Namun kalau kita
berpandangan bahwa agama hanya sebuah jalan kebenaran, dan tujuan kita adalah
sama yakni kebebasan, maka kita tidak pernah akan mempertentangkan jalan kita
masing-masing. Pemahaman sempit dan fenomena eksklusivisme masih amat kental
mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui
“pencucian otak” anak didik secara sistematis. Hal inilah akan berpeluang
memunculkan masyarakat-masyarakat garis keras konvensional, yang jauh dari
manusia moderat yang demokratis.
Dialektika dan kajian mendalam
tentang nilai-nilai agama yang ada harus dilakukan secara obyektif yang
bermetodologi ilmiah. Penilaian yang dimuati kepentingan-kepentingan golongan
akan membuat diskriminasi yang sangat berbahaya ditengah pluralitas agama yang
ada. Politisasi negara terhadap agama atau agama mempolitisasi negara akan
melahirkan embrio kehancuran sebagai bom waktu kehidupan. Menyikapi kajian
epistemologis multikulturalisme dan kajian teologis, maka dalam upaya
menjadikan multukulturalisme sebagai potensi positif untuk membangun negara,
dunia pendidikan menempati posisi strategis. Pendidikan merupakan wahana
penyatuan persepsi epistemologis, sehingga didapat depinisi yang
konstruktif serta pendidikan pula yang
menyudahi distorsi-distorsi teologis.
Pengalaman masa
lalu dengan sistem sentralisasi pendidikan yang represif telah melahirkan manusia yang belum pintar
secara intelektual juga lemah secara emosional dan belum kaya secara spiritual,
apalagi ditambah pertimbangan geografis dan utamanya multikulturalisme
Indonesia, maka harus dirumuskan sebuah sistem pendidikan yang lebih baik.
Dengan alasan tersebut diatas, maka paradigma desentralisasi
pendidikan sangat tepat. Dengan desentralisasi pendidikan, maka 1) Telah
terjawab kendala secara geografis dari bangsa kita karena dengan ini terjadi
otonomi pendidikan ditingkat daerah dan sekolah sehingga pelaksanaan pendidikan
akan mendekatkan kebijakan yang diambil dengan sekolah bersangkutan. 2)
Masyarakat multikultur justru memperkaya obyek kajian yang perlu kita ulas dan
perdebatkan sehingga menemukan akulturasi budaya yang kompleks, yang tetap
menghormati karakteristik budaya didalamnya. Penghargaan terhadap perbedaan
kultur terutama dari segi kebijakan sangat diharapkan sehingga tidak ada
golongan yang terkorbankan atau mengorbankan serta tidak ada budaya yang dipaksa untuk menjadi sama. 3) Penduduk
Indonesia yang sangat besar akan termanfaatkan, karena bantuan baik berupa
dana, sarana-prasarana, maupun
partisifasi aktif dalam merencanakan kebijakan atau melaksanakan pendidikan
dalam bentuk pemberian informasi atau bahkan pemberian materi dari masyarakat.
4) Pemanfaatan kekayaan alam Indonesia,
sebagai laboratorium alami, tempat peserta didik melakukan percobaan dan
pengumpulan data secara gratis.
Dari
kekuatan-kekuatan tersebut, yang harus kita jaga dan kembangkan, maka dengan
desentralisasi pendidikan juga memberikan peluang, yakni : 1) Pendidikan akan
menjadi sebuah sistem yang berjalan dengan sendirinya, tanpa menunggu instruksi
dari atas. Kreatifitas akan mengalir secara alami dan tidak ada pendiktean
hasil dari pendidikan. Prinsif “learning what to be learn” belajar apa
yang dipelajari akan dengan otomatis bergeser ke pola “learning how to learn”
belajar bagaimana belajar. Dengan demikian pendidikan benar-benar menjadi
otonom. 2) Terwujud masyarakat yang menghargai perbedaan baik dalam pola pikir
maupun pola tindak dan pola bicara, dari hal ini akan terjadi masyarakat berani
berdebat ditingkat epistemologis dan selalu menjungjung tinggi pranata-pranata
sosial serta hasil dari sebuah konsensus. Dari hal ini akan terlahir masyarakat
yang demokratis. 3) Terjadi kompetisi yang sehat dari peserta didik yang
diikuti oleh peningkatan kualitas penyelenggara pendidikan baik guru maupun
tenaga administrasi. Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki tafsir yang
berbeda atau cara yang berbeda dalam mewujudkan tujuan pendidikan sehingga struktur
atau tugas-tugas penyelenggara pendidikan menjadi berbeda, disinilah memerlukan
profesionalisme dan seni dalam mengatur. 4) Dari Segi anggaran akan terjadi
efisiensi, karena anggaran dana langsung ke daerah sasaran atau sekolah tujuan,
maka tidak akan terjadi penyinggahan dana disana-sini, serta pengelolaan
anggaran akan lebih tepat sesuai dengan keperluan. 5) Dari segi output
pendidikan, maka akan tercipta lulusan-lulusan yang memiliki kempetensi
berimbang antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Serta berimbang pula
antara kemampuan umum dan kemampuan lokal, sehingga lulusan tidak buta akan
potensi daerahnya masing-masing, tetapi juga tidak kalah dalam mencermati
fenomena global. Otonomi pengelolaan pendidikan disuatu daerah akan
mempertimbangkan potensi daerah yakni dengan dibangunnya sekolah-sekolah
kejuruan yang memang benar-benar diperlukan oleh daerah tersebut. Dengan
demikian akan terjadi kesesuaian antara sekolah sebagai penyedia sumber daya
manusia dengan dunia kerja sebagai konsumen sumber daya manusia.
Dengan demikian desentralisasi
sistem pendidikan menjadi pilihan tepat ditengah-tengah masyarakat multikultur.
Keberhasilan pendidikan Indonesia
dalam mengelola multikulturalisme adalah awal keberhasilan sebagai negara
besar, yang pintar secara intelektual, cerdas secara emosional dan religius
secara spiritual.
No comments:
Post a Comment