Wednesday, April 8, 2015

MULTIKULTURALISME SEBAGAI LANDASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN


 
Indonesia merupakan negara besar dan sangat plural, baik karakteristik wilayah maupun penduduk. Pluralitas tersebut tidak hanya secara geografis (kewilayahan), tetapi juga sosiologis (kemasyarakatan) dan teologis (kepercayaan) yang menyebabkan perbedaan cara hidup sehingga menjadi kultur (budaya) yang berbeda, dengan ini Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultur. Hal ini dikatakan oleh Masdar Hilmy seorang dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, sebagai pedang “bermata ganda” karena disatu sisi ia merupakan modalitas yang bisa menghasilkan energi positif, disisi lain bisa menjadi ledakan destruktif yang menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan manakala keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dengan baik.
Lebih lanjut Masdar Hilmy mengatakan bahwa paradigma multikulturalisme tidak saja mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen sosial budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen lain kedalam sebuah wilayah kebersamaan yang bersifat saling memperkuat. Proses peleburan ini bukan dalam pengertian penciptaan identitas tunggal melalui penyeragaman yang represif, tetapi kerelaan saling melebur tanpa harus menghilangkan identitas-identitas lokal.
Salah satu faktor kegagalan rezim Orde Baru dalam mengelola multikulturalisme adalah karena selain menggunakan cara-cara represif, mereka juga amat terobsesi melakukan penyatuan dan penyeragaman sosial budaya melalui penipuan-penipun tafsir idiologis. Pengekangan munculnya variasi praksis disegala lini kehidupan menjadikan bangsa yang jauh dari kreatifitas bernalar dan kematangan pola pikir. Pengekangan-pengekangan ini juga terjadi pada dunia pendidikan yang notabene merupakan agen pembaharu suatu bangsa. Sekolah lebih merupakan pewarisan budaya, dan kurang memberikan ruang dialektika untuk mengkritisi budaya tersebut, dengan demikian kreatifitas yang  berdaya temu sangat minim terjadi. Budaya dan sejarah yang diwariskan sudah diatur sedemikian rupa lewat buku-buku terbitan penguasa sehingga hanya menguntungkan pihak penguasa dan mengorbankan pihak-pihak yang idealis pada bangsa ini. Kampus-kampus tidak merdeka dalam menelorkan ide dan gagasan, kebranian kritisnya dibungkam oleh gerakan militer yang represif. Para intelektual dipaksa berbicara satu dan sering diluar hati nurani dan kebenaran ilmiah yang metodologis, dan diarahkan hanya untuk membenarkan langkah penguasa. Data-data statistik dimanipulasi untuk menghibur rakyat, serta bahasa tafsir dari data direkayasa sehingga negara kita terkesan berhasil. Informasi internasional yang positif sebagai pembanding tidak diperkenankan masuk dan informasi kegagalan langkah penguasa didalam negeri juga disensor.
            Hal di atas sangat ditentukan dengan diberlakukannya sistem negara sentralistik, termasuk pada bidang pendidikan. Paradigma pendidikan sentralistik yang berbasis penyeragaman identitas sosial budaya ala Orde Baru terbukti tidak mampu menyangga multikulturalitas kebangsaan yang unik di Indonesia. Sehingga pada saatnya, yakni tahun 1998 meledaklah “magma kemarahan rakyat”  yang tersalur dari detakan langkah sang Mahasiswa. Pada saat itu Indonesia mati dari ketertindasan pikir dan terlahir menjadi manusia yang “merdeka kedua-kalinya”. Merdeka dari penjajah asing ditahun 1945 dan merdeka dari kediktatoran dan pembungkaman rezim Orde Baru.
            Konflik horizontal yang disebabkan karena ledakan kebebasan rakyat yang tidak terkontrol sehingga tumbangnya rezim diktator juga disertai berbagai gejolak sosial. Masyarakat yang dibutakan dari wacara perbedaan terpaksa berhadapan dengan realita multikulturalisme, sehingga konflik antaretnik tidak dapat dielakkan lagi. Bukti nyata yakni meletusnya tragedi Sampit di Kalimantan. Konflik juga terjadi antara agama yakni di Maluku dan Poso. Puncak ketidak puasan rakyat meledak dengan semakin bangkitnya  gerakan Sparatis di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdekanya dan berkibarnya Bendera Gerakan Papua Merdeka di Irian Jaya.
Menurut Masdar Hilmy harus dilakukan dua pembenahan terhadap mispersepsi tentang multikulturalisme, sehingga multikulturalisme memang benar-benar “cantik” dalam sosiologi kebangsaan untuk itu sangat perlu dilestarikan. Pembenahan pertama menyangkut basis epistemologis multikulturalisme yang hingga kini belum banyak di pahami khalayak secara proporsional. Harus di akui, pemahaman masyarakat tentang multikulturalisme masih sebatas pada keanekaragaman kondisi sosial budaya yang dimiliki bangsa kita. Padahal, paradigma multikulturalisme meniscayakan pemahaman bahwa elemen-elemen sosial budaya bangsa harus bersifat inklusif, membuka diri terhadap elemen-elemen lain dari luar, dan berani berdialog satu sama lain. Masyarakat harus membiarkan elemen-elemen sosial budaya saling berdialog, bahkan “bertikai”, di tingkat epistemologis dalam dikursus yang fluid, melting, dan tidak represif. Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu memerankan dirinya sebatas sebagai “arbiter”, penengah bagi proses rekonsiliasi, ketika proses dialektika itu menemui titik jenuh. Untuk keperluan ini, masyarakat dituntut selalu meningkatkan “kecerdasan emosional” agar mereka memiliki sensitivitas, sensibilitas, apresiasi, simpati, dan empati terhadap kelompok lain. Kercerdasan dalam wilayah ini, harus disertai dengan kepekaan membaca kondisi real, baik secara historis, sosiologis maupun psikologis. Penilaian-penilain yang hanya sektoral cendrung tidak berimbang dan sangat menyesatkan, sehingga pemahaman secara epistemologis harus benar-benar proporsional.
            Pembenahan yang kedua yakni pada basis teologis, tidak bisa di pungkiri, sistem teologi yang dikembangkan di lembaga pendidikan kita belum memungkinkan terjadinya pemahaman paradigma multikulturalisme yang proporsional akibat distorsi-distorsi.  Doktrin agama sering di jadikan pembenar bagi terjadinya konflik antaragama. Disini masih berkembang epistemologi “pahlawan agama” yakni orang yang berjuang atas panggilan agama. Namun kalau kita berpandangan bahwa agama hanya sebuah jalan kebenaran, dan tujuan kita adalah sama yakni kebebasan, maka kita tidak pernah akan mempertentangkan jalan kita masing-masing. Pemahaman sempit dan fenomena eksklusivisme masih amat kental mewarnai kurikulum pendidikan agama di sekolah yang dilakukan melalui “pencucian otak” anak didik secara sistematis. Hal inilah akan berpeluang memunculkan masyarakat-masyarakat garis keras konvensional, yang jauh dari manusia moderat yang demokratis.
            Dialektika dan kajian mendalam tentang nilai-nilai agama yang ada harus dilakukan secara obyektif yang bermetodologi ilmiah. Penilaian yang dimuati kepentingan-kepentingan golongan akan membuat diskriminasi yang sangat berbahaya ditengah pluralitas agama yang ada. Politisasi negara terhadap agama atau agama mempolitisasi negara akan melahirkan embrio kehancuran sebagai bom waktu kehidupan. Menyikapi kajian epistemologis multikulturalisme dan kajian teologis, maka dalam upaya menjadikan multukulturalisme sebagai potensi positif untuk membangun negara, dunia pendidikan menempati posisi strategis. Pendidikan merupakan wahana penyatuan persepsi epistemologis, sehingga didapat depinisi yang konstruktif  serta pendidikan pula yang menyudahi distorsi-distorsi teologis.
            Pengalaman masa lalu dengan sistem sentralisasi pendidikan yang represif  telah melahirkan manusia yang belum pintar secara intelektual juga lemah secara emosional dan belum kaya secara spiritual, apalagi ditambah pertimbangan geografis dan utamanya multikulturalisme Indonesia, maka harus dirumuskan sebuah sistem pendidikan yang lebih baik.
Dengan alasan tersebut diatas, maka paradigma desentralisasi pendidikan sangat tepat. Dengan desentralisasi pendidikan, maka 1) Telah terjawab kendala secara geografis dari bangsa kita karena dengan ini terjadi otonomi pendidikan ditingkat daerah dan sekolah sehingga pelaksanaan pendidikan akan mendekatkan kebijakan yang diambil dengan sekolah bersangkutan. 2) Masyarakat multikultur justru memperkaya obyek kajian yang perlu kita ulas dan perdebatkan sehingga menemukan akulturasi budaya yang kompleks, yang tetap menghormati karakteristik budaya didalamnya. Penghargaan terhadap perbedaan kultur terutama dari segi kebijakan sangat diharapkan sehingga tidak ada golongan yang terkorbankan atau mengorbankan serta tidak ada budaya yang  dipaksa untuk menjadi sama. 3) Penduduk Indonesia yang sangat besar akan termanfaatkan, karena bantuan baik berupa dana, sarana-prasarana,  maupun partisifasi aktif dalam merencanakan kebijakan atau melaksanakan pendidikan dalam bentuk pemberian informasi atau bahkan pemberian materi dari masyarakat. 4) Pemanfaatan kekayaan alam Indonesia, sebagai laboratorium alami, tempat peserta didik melakukan percobaan dan pengumpulan data secara gratis.
            Dari kekuatan-kekuatan tersebut, yang harus kita jaga dan kembangkan, maka dengan desentralisasi pendidikan juga memberikan peluang, yakni : 1) Pendidikan akan menjadi sebuah sistem yang berjalan dengan sendirinya, tanpa menunggu instruksi dari atas. Kreatifitas akan mengalir secara alami dan tidak ada pendiktean hasil dari pendidikan. Prinsif “learning what to be learn” belajar apa yang dipelajari akan dengan otomatis bergeser ke pola “learning how to learn” belajar bagaimana belajar. Dengan demikian pendidikan benar-benar menjadi otonom. 2) Terwujud masyarakat yang menghargai perbedaan baik dalam pola pikir maupun pola tindak dan pola bicara, dari hal ini akan terjadi masyarakat berani berdebat ditingkat epistemologis dan selalu menjungjung tinggi pranata-pranata sosial serta hasil dari sebuah konsensus. Dari hal ini akan terlahir masyarakat yang demokratis. 3) Terjadi kompetisi yang sehat dari peserta didik yang diikuti oleh peningkatan kualitas penyelenggara pendidikan baik guru maupun tenaga administrasi. Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki tafsir yang berbeda atau cara yang berbeda dalam mewujudkan tujuan pendidikan sehingga struktur atau tugas-tugas penyelenggara pendidikan menjadi berbeda, disinilah memerlukan profesionalisme dan seni dalam mengatur. 4) Dari Segi anggaran akan terjadi efisiensi, karena anggaran dana langsung ke daerah sasaran atau sekolah tujuan, maka tidak akan terjadi penyinggahan dana disana-sini, serta pengelolaan anggaran akan lebih tepat sesuai dengan keperluan. 5) Dari segi output pendidikan, maka akan tercipta lulusan-lulusan yang memiliki kempetensi berimbang antara kognitif, afektif dan psikomotorik. Serta berimbang pula antara kemampuan umum dan kemampuan lokal, sehingga lulusan tidak buta akan potensi daerahnya masing-masing, tetapi juga tidak kalah dalam mencermati fenomena global. Otonomi pengelolaan pendidikan disuatu daerah akan mempertimbangkan potensi daerah yakni dengan dibangunnya sekolah-sekolah kejuruan yang memang benar-benar diperlukan oleh daerah tersebut. Dengan demikian akan terjadi kesesuaian antara sekolah sebagai penyedia sumber daya manusia dengan dunia kerja sebagai konsumen sumber daya manusia.
            Dengan demikian desentralisasi sistem pendidikan menjadi pilihan tepat ditengah-tengah masyarakat multikultur. Keberhasilan pendidikan Indonesia dalam mengelola multikulturalisme adalah awal keberhasilan sebagai negara besar, yang pintar secara intelektual, cerdas secara emosional dan religius secara spiritual.

No comments:

Post a Comment