Wednesday, April 8, 2015

Menuju Kebangkitan Nasional



            107 tahun kebangkitan nasional merupakan tonggak yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebuah momentum pergerakkan yang integralistik, sebagai sebuah penyatuan kekuatan bangsa untuk Indonesia merdeka. Sejarah tidak hanya harus dirayakan sebagai simbol syukur dan kebanggaan sebagai bangsa, tetapi mesti dimaknai secara kritis-reflektif. Manakala runutan fakta sesudah momentum besar itu  mengalami trend kemunduran, maka mesti dipertanyakan kualitas generasi pewarisnya.
         
   Kalau dicermati pemaknaan secara kritis terhadap kemajuan bangsa saat ini memperlihatkan sebuah kemunduran kualitas generasi bangsa di tengah-tengah berlarinya kemajuan bangsa-bangsa tetangga. Bangsa Indonesia pada jaman pergerakan hingga dikumandangkannya kemerdekaan adalah pelopor kemerdekaan negara-negara Asia bahkan lebih dahulu dari India, Malaysia, dan negara-negara lain yang saat ini sudah sangat maju.
            Indonesia setelah merdeka, mengalami pasang surut iklim kenegaraan yang lamban dalam mencerdaskan bangsanya. Era tahun 65-an, sedemikian besar konsentrasi bangsa terhadap politik, hingga terbengkalainya urusan kebodohan dan kemiskinan. Era orde baru membungkam kreativitas pikir anak bangsa, hingga terlahir generasi dengan budaya ”pengikut”. Hampir jarang terlahir generasi-generasi cerdas yang idealis, kritis, konsisten dan mengharumkan, untuk mensejajarkan bangsa ini sebagai bangsa yang besar dan maju.
            ”Kemunduran” kualitas generasi bangsa pasca pergerakan kemerdekaan adalah karena kualitas dan iklim pendidikan Indonesia yang tidak mendukung terciptanya generasi yang mumpuni. Kebijakan makro pendidikan nasional, dan pengelolaan sumber daya manusia belum mencerminkan penghormatan kepada kualitas dan profesionalisme.
            Untuk mewujudkan bangsa yang maju sesuai dengan cita-cita kebangkitan nasional harus diawali dengan kebangkitan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Pengelolaan pendidikan sebagai sebuah sistem dari hulu hingga hilir, mulai dari calon anak didik sampai pengelolaan output pendidikan, termasuk pengelolaan anak-anak berbakat, dan sumber daya berprestasi. Sejarah peradaban dunia memperlihatkan bangsa-bangsa yang memiliki konsentrasi pengelolan pendidikan tinggi memperlihatkan kemajuan bangsa yang lebih baik. Yunani sebagai awal sejarah filsafat telah membuktikan terlahirnya ilmuwan-ilmuwan besar karena dikelolanya pendidikan dengan demikian baiknya. Dan potensi generasi baru terpelihara dan terkembangkan hingga mereka mencapai puncaknya.            Nampaknya keseriusan inilah bagi bangsa Indonesia belum dimiliki. Pemerintah sebagai penentu legal drafting mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), Petunjuk Pelaksana (Juklak), dan Petunjuk Teknis (Juknis) harus konsisten mengawal segala ekplorasi ide untuk kesembuhan sistem pendidikan kita. Amanat undang-undang dasar untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 % sampai saat ini masih jauh dari harapan. Hal ini memperlihatkan ketidak-konsistenan pemerintah dalam mengurusi sektor pendidikan. Ketimpangan sistem yang mengatur pendidikan akan membuat pelaksana teknis pendidikan semakin bingung. Kebingungan akan terus menganga ketika tidak adanya konsistensi dalam pembuatan aturan mulai dari perundang-undangan yang teratas sampai dengan terbawah ditingkat sekolah. Ketegasan dan konsistensi aturan dari pemerintah adalah jurus penyembuhan yang pertama dalam dunia pendidikan.
            Konsistensi aturan bukan bermakna konservatif dalam rangka mempertahankan keajegan tradisi pendidikan masa lalu, tetapi konsistensi adalah keseiramaan produk dan proses pembuatan aturan. Ketika peraturan pemerintah dituntut sesegera mungkin disahkan untuk memayungi sebuah program pendidikan, maka itu hendaknya dilakukan dengan secepat-sepatnya. Karena dengan tertundanya peraturan pemerintah, maka program tersebut menjadi terhambat. Kewibawaan pemerintah dan institusi pendidikan menjadi pudar. Manakala kepercayaan publik sudah melemah terhadap keberadaan pemerintah, lebih-lebih elemen pendidikan sendiri, maka program pendidikan di bidang lain berpotensi terhambat.
            Yang sangat penting pula menjadi tugas pemerintah adalah penghormatan terhadap kualitas dan profesionalisme. Sistem ketatanegaraan baik sentralistik maupun desentralistik belum mampu menjamin penghormatan terhadap profesionalisme. Ketika ada penghianatan profesionalisme, misal dalam penjaringan tenaga kerja sektor formal, maka motivasi berprestasi bagi usia sekolah akan melemah. Penghormatan terhadap profesionalisme juga mesti dilakukan dalam pengelolaan birokrasi. Promosi jabatan adalah ruang strategis bagi penegakkan profesionalisme. Yang terjadi saat ini kebanyakan promosi jabatan tanpa didasari pertimbangan profesionalisme dan prestasi kerja. Fit and profer test mesti dilakukan untuk jabatan strategis baik di pusat maupun daerah. Reward and punishment  adalah bagian dari manajemen yang mesti dan harus dilakukan. DP3 untuk pegawai negeri saat ini hanyalah formalitas administratif, bukan berfungsi sebagai representasi dari kinerja pegawai negeri. Padahal dari DP3 tercermin kualitas profesionalisme dari seorang pegawai negeri. Yang belum dilakukan dalam administrasi kepegawaian adalah pencatatan capaian kinerja (baca portofolio) yang seharusnya merupakan referensi bagi promosi jabatan.
Terkadang pejabat politik maupun pejabat struktural sengaja menenggelamkan profesionalisme untuk keajegan kekuasaan. Usaha ini dilakukan dengan menendang orang-orang cerdas, kritis, dan idealis. Penyaluran orang-orang potensial untuk dididik sangat jarang dilakukan pemerintah, sehingga potensi mereka tenggelam dan tidak berkembang. Kebijakan semacam inilah yang perlu dikritisi untuk diperbaiki demi kebangkitan pendidikan nasional.
            Kasus yang menarik untuk disimak dalam hubungannya dengan profesionalisme adalah proses sertifikasi guru. Ketika profesionalisme adalah kata kunci dari proses sertifikasi, maka tahapan penjaringannya mesti tidak bertentangan dengan ide profesionalisme itu sendiri. Ketika bicara profesionalisme, maka tidak ada jaminan dilihat dari  golongan, masa kerja, dan usia. Profesionalisme mesti dipertarungkan secara terbuka, artinya semua guru, tanpa mengistimewakan guru golongan tertentu berhak menyusun portofolio untuk dinilai. Skor portofolio yang tertinggilah berhak mengisi kuota yang dijatahkan. Bukan malah memberi diklat bagi yang belum layak memenuhi skor standar, manakala pemerintah belum tahu skor portofolio guru lain yang belum diberi kesempatan untuk menyetor portofolio. Proses ini sangat jauh dari asas profesionalisme dan cenderung mis-efisiensi. Proses seperti ini merupakan cerminan betapa profesionalisme belum mampu ditegakkan sebagai nilai yang dihormati.
            Mental bangsa yang hormat terhadap profesionalisme harus dimulai dari pemerintah baik pusat maupun daerah, institusi  pendidikan maupun institusi   lain. Pengingkaran terhadap profesionalisme adalah proses pembodohan secara sistematis yang akhirnya meletakkan nama bangsa ini diurutan  dekat buncit kemajuan bangsa-bangsa didunia. Mental yang mengingkari azas profesionalisme memperlemah semangat bertarung secara sportif bagi masyarakat khususnya masyarakat usia sekolah. Manakala semangat untuk berprestasi tidak ada, maka janganlah diharap mutu pendidikan akan tinggi.
            Refleksi kritis terhadap dunia pendidikan, mesti menjadi perenungan bagi bangsa Indonesia, sehingga 107 tahun hari kebangkitan nasional akan bermakna sama dengan saat  terlahirnya kebangkitan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan semangat perjuangan pada 107 tahun yang lalu akhirnya membuahkan hasil kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, dan moga refleksi kritis kebangkitan pendidikan nasional berhasil membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, sehingga bangsa Indonesia benar-benar bangkit.

No comments:

Post a Comment