107 tahun kebangkitan nasional merupakan tonggak yang bersejarah bagi bangsa
Indonesia. Sebuah momentum pergerakkan yang integralistik, sebagai sebuah
penyatuan kekuatan bangsa untuk Indonesia merdeka. Sejarah tidak hanya harus
dirayakan sebagai simbol syukur dan kebanggaan sebagai bangsa, tetapi mesti
dimaknai secara kritis-reflektif. Manakala runutan fakta sesudah momentum besar
itu mengalami trend kemunduran, maka mesti dipertanyakan kualitas generasi
pewarisnya.
Indonesia
setelah merdeka, mengalami pasang surut iklim kenegaraan yang lamban dalam
mencerdaskan bangsanya. Era tahun 65-an, sedemikian besar konsentrasi bangsa
terhadap politik, hingga terbengkalainya urusan kebodohan dan kemiskinan. Era
orde baru membungkam kreativitas pikir anak bangsa, hingga terlahir generasi
dengan budaya ”pengikut”. Hampir jarang terlahir generasi-generasi cerdas yang
idealis, kritis, konsisten dan mengharumkan, untuk mensejajarkan bangsa ini
sebagai bangsa yang besar dan maju.
”Kemunduran”
kualitas generasi bangsa pasca pergerakan kemerdekaan adalah karena kualitas
dan iklim pendidikan Indonesia yang tidak mendukung terciptanya generasi yang
mumpuni. Kebijakan makro pendidikan nasional, dan pengelolaan sumber daya
manusia belum mencerminkan penghormatan kepada kualitas dan profesionalisme.
Untuk
mewujudkan bangsa yang maju sesuai dengan cita-cita kebangkitan nasional harus
diawali dengan kebangkitan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Pengelolaan pendidikan sebagai sebuah sistem dari hulu hingga hilir, mulai dari
calon anak didik sampai pengelolaan output pendidikan, termasuk pengelolaan
anak-anak berbakat, dan sumber daya berprestasi. Sejarah peradaban dunia
memperlihatkan bangsa-bangsa yang memiliki konsentrasi pengelolan pendidikan
tinggi memperlihatkan kemajuan bangsa yang lebih baik. Yunani sebagai awal
sejarah filsafat telah membuktikan terlahirnya ilmuwan-ilmuwan besar karena
dikelolanya pendidikan dengan demikian baiknya. Dan potensi generasi baru
terpelihara dan terkembangkan hingga mereka mencapai puncaknya. Nampaknya keseriusan inilah bagi
bangsa Indonesia belum dimiliki. Pemerintah sebagai penentu legal drafting
mulai dari Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri
(Permen), Petunjuk Pelaksana (Juklak), dan Petunjuk Teknis (Juknis) harus
konsisten mengawal segala ekplorasi ide untuk kesembuhan sistem pendidikan
kita. Amanat undang-undang dasar untuk mengalokasikan anggaran pendidikan
minimal 20 % sampai saat ini masih jauh dari harapan. Hal ini memperlihatkan
ketidak-konsistenan pemerintah dalam mengurusi sektor pendidikan. Ketimpangan
sistem yang mengatur pendidikan akan membuat pelaksana teknis pendidikan
semakin bingung. Kebingungan akan terus menganga ketika tidak adanya
konsistensi dalam pembuatan aturan mulai dari perundang-undangan yang teratas
sampai dengan terbawah ditingkat sekolah. Ketegasan dan konsistensi aturan dari
pemerintah adalah jurus penyembuhan yang pertama dalam dunia pendidikan.
Konsistensi
aturan bukan bermakna konservatif dalam rangka mempertahankan keajegan tradisi
pendidikan masa lalu, tetapi konsistensi adalah keseiramaan produk dan proses
pembuatan aturan. Ketika peraturan pemerintah dituntut sesegera mungkin
disahkan untuk memayungi sebuah program pendidikan, maka itu hendaknya
dilakukan dengan secepat-sepatnya. Karena dengan tertundanya peraturan
pemerintah, maka program tersebut menjadi terhambat. Kewibawaan pemerintah dan
institusi pendidikan menjadi pudar. Manakala kepercayaan publik sudah melemah
terhadap keberadaan pemerintah, lebih-lebih elemen pendidikan sendiri, maka
program pendidikan di bidang lain berpotensi terhambat.
Yang
sangat penting pula menjadi tugas pemerintah adalah penghormatan terhadap kualitas
dan profesionalisme. Sistem ketatanegaraan baik sentralistik maupun
desentralistik belum mampu menjamin penghormatan terhadap profesionalisme.
Ketika ada penghianatan profesionalisme, misal dalam penjaringan tenaga kerja
sektor formal, maka motivasi berprestasi bagi usia sekolah akan melemah.
Penghormatan terhadap profesionalisme juga mesti dilakukan dalam pengelolaan
birokrasi. Promosi jabatan adalah ruang strategis bagi penegakkan
profesionalisme. Yang terjadi saat ini kebanyakan promosi jabatan tanpa didasari
pertimbangan profesionalisme dan prestasi kerja. Fit and profer test
mesti dilakukan untuk jabatan strategis baik di pusat maupun daerah. Reward and punishment adalah bagian dari manajemen yang mesti dan
harus dilakukan. DP3 untuk pegawai negeri saat ini hanyalah formalitas
administratif, bukan berfungsi sebagai representasi dari kinerja pegawai
negeri. Padahal dari DP3 tercermin kualitas profesionalisme dari seorang
pegawai negeri. Yang belum dilakukan dalam administrasi kepegawaian adalah
pencatatan capaian kinerja (baca portofolio) yang seharusnya merupakan
referensi bagi promosi jabatan.
Terkadang pejabat politik
maupun pejabat struktural sengaja menenggelamkan profesionalisme untuk keajegan
kekuasaan. Usaha ini dilakukan dengan menendang orang-orang cerdas, kritis, dan
idealis. Penyaluran orang-orang potensial untuk dididik sangat jarang dilakukan
pemerintah, sehingga potensi mereka tenggelam dan tidak berkembang. Kebijakan
semacam inilah yang perlu dikritisi untuk diperbaiki demi kebangkitan pendidikan
nasional.
Kasus
yang menarik untuk disimak dalam hubungannya dengan profesionalisme adalah
proses sertifikasi guru. Ketika profesionalisme adalah kata kunci dari proses
sertifikasi, maka tahapan penjaringannya mesti tidak bertentangan dengan ide
profesionalisme itu sendiri. Ketika bicara profesionalisme, maka tidak ada
jaminan dilihat dari golongan, masa
kerja, dan usia. Profesionalisme mesti dipertarungkan secara terbuka, artinya
semua guru, tanpa mengistimewakan guru golongan tertentu berhak menyusun
portofolio untuk dinilai. Skor portofolio yang tertinggilah berhak mengisi
kuota yang dijatahkan. Bukan malah memberi diklat bagi yang belum layak
memenuhi skor standar, manakala pemerintah belum tahu skor portofolio guru lain
yang belum diberi kesempatan untuk menyetor portofolio. Proses ini sangat jauh dari asas profesionalisme
dan cenderung mis-efisiensi. Proses seperti ini merupakan cerminan betapa
profesionalisme belum mampu ditegakkan sebagai nilai yang dihormati.
Mental
bangsa yang hormat terhadap profesionalisme harus dimulai dari pemerintah baik
pusat maupun daerah, institusi
pendidikan maupun institusi
lain. Pengingkaran terhadap profesionalisme adalah proses pembodohan
secara sistematis yang akhirnya meletakkan nama bangsa ini diurutan dekat buncit kemajuan bangsa-bangsa didunia.
Mental yang mengingkari azas profesionalisme memperlemah semangat bertarung
secara sportif bagi masyarakat khususnya masyarakat usia sekolah. Manakala
semangat untuk berprestasi tidak ada, maka janganlah diharap mutu pendidikan
akan tinggi.
Refleksi
kritis terhadap dunia pendidikan, mesti menjadi perenungan bagi bangsa
Indonesia, sehingga 107 tahun hari kebangkitan nasional akan
bermakna sama dengan saat terlahirnya
kebangkitan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan semangat perjuangan
pada 107 tahun yang lalu akhirnya membuahkan hasil
kemerdekaan bagi tanah air Indonesia, dan moga refleksi kritis kebangkitan
pendidikan nasional berhasil membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan
sejahtera, sehingga bangsa Indonesia benar-benar bangkit.
No comments:
Post a Comment