Wednesday, April 8, 2015

Hindari “pen-calo-an” Anggaran



       Terkadang kesempatan menjabat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan. Perilaku seperti itu tercermin dari kebijakan anggaran yang tidak proforsional dan sarat kepentingan. Mata anggaran hanya mengakomodasi ambisi, keserakahan dan nafsu, baik pribadi, kelompok, atau golongan tertentu.
Untuk kepentingan pribadi, pejabat sering memprogramkan anggaran hanyalah untuk pristise, yang sering dipaksakan. Program ini bahkan mengeliminir program pokok untuk rakyat Karena dibenak sang penguasa, nama besar, hanyalah dicapai dengan berbuat yang mercusuar. Untuk mendukung ambisi inilah,
sering melabrak pertimbangan obyektif daerah. Padahal program mercusuar tanpa dukungan sumber daya manusia daerah yang handal akan produk mercusuar tersebut, maka hanya menjadi boomerang bagi masyarakatnya sendiri. Kebijakan anggaran semacam ini akan menjauhkan fungsi pemerintah sebagai pelayam masyarakat. Dan penguasa sudah menghindar dari esensinya sebagai pengayom dan pelindung rakyat, tetapi lebih memilih peran sebagai “calo” bagi ambisinya sendiri.
Kebijakan anggaran semacam ini, berpotensi menjadi program yang mangkrak di tenganh jalan. Program mangkrak tidak hanya menguras anggaran tetapi tidak menggulirkan ekonomi. Kebijakan-kebijakan semacam inilah yang membuat krisis kian panjang dan parah. Kebijakan mercusuar, kebanyakan hanya fisik oriented dan mengenyampingkan human resources development. Sehingga ketika pembangunan fisik jadi, tidak langsung siap operasi, karena sang pengelola belum ada, atau kalaupun ada kemampuannya masih minim. Akhirnya fasilitas yang ada juga menjadi mangkrak, tak berpenghuni.
Pejabat pemerintah sebagai kumpulan kelompok-kelompok masyarakat hitrogen terkadang juga tidak pernah mau melebur dirinya kedalam lembaga pemerintahan yang homogen. Tetapi mereka masih mengemban misinya masing-masing, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun kelompok atau golongannya sendiri. Orang yang berada didalam pemerintahan adalah orang pemerintah, tidak ada kata lagi untuk mewakili kelompok-kelompok tertentu. Sehingga pejabat pemerintah tidaklah merasa sebagai utusan kepentingan kelompok tertentu. Tetapi mereka adalah utusan kebutuhan masyarakat. Segala tindak tanduk pejabat pemerintah adalah manifestasi dari usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat secara umum. Penghianatan terhadap esensi ini melahirkan proses percaloan anggaran yang semakin parah di lingkaran eksekutif.
Legislatif sebagai lembaga budgeting bersama eksekutif memiliki peranan yang vital bagii pengelolaan anggaran yang proforsional. Karena distribusi keterwakilan anggota legislatif pada wilayah di daerah lebih proforsional. Namun ketika solidaritas kelompok menjadi pemenang dibanding kebutuhan daerah secara umum, maka proforsional keterwakilan akan bernilai sama dengan dominasi kelompok suatu daerah. Kebijakan anggaran sang legislator sangat mempengaruhi keadilan pembangunan antar desa di sebuah wilayah. Sang legislatif dari perwakilan suatu wilayah hendaknya memetakan wilayah konstituennya berdasakan prioritas kebutuhan, bukan atas dasar jumlah suara partai pendukungnya.
Namun kenyataannya sering kita melihat, jalan di suatu desa bisa rusaknya minta ampun, tetapi jalan di desa tertentu belum rusak sudah ditambal lagi. Suatu dusun memiliki fasilitas “jalan semut” (baca gang) yang berbeton bahkan berasfal, tetapi dusun sebelah  jalan besarnya pun masih geladag. Kalau fenomena ini tidak merupakan hasil kebodohan pengelolaan anggaran, maka indikasi kesengajaan untuk mementingkan kelompok atau dusun tertentu adalah jawabannya. Praktek semacam ini, memberikan gambaran yang gamblang betapa praktek percaloaan anggaran sering terjadi. Walau untuk kepentingan dusun atau kelompok, ketika itu dilakukan dengan tidak adil, maka usaha itu adalah kecurangan.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah terjadi proses percaloan anggaran untuk para rekanan. Para rekanan sebagai pengusaha baik usaha pengadaan, usaha jasa, maupun usaha lain, akan meloby para penguasa mulai dari penentuan anggaran. Ketika mental penguasa eksekutif maupun legislatif bobrok, maka proses percaloan akan terjadi. Sehingga pertimbangan kondisi obyektif daerah dan tujuan pembangunan yang sebenarnya akan terlempar, yang ada hanya lomba-lomba komisi dan persentase. Ternyata proses-proses ini disinyalir sangat sering terjadi. Untuk hal tersebut, maka praktek-praktek percaloan anggaran, harus segera dihentikan.
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk menghindari praktek-praktek percaloan anggaran tersebut. Pertama, menghidupkan semangat fartisipatif pada pembuatan APBD oleh masyarakat. Masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan atau perwakilan wilayah, hendaknya mampu menekan  proses ini, mulai dari perancangan hingga pengesahan. Organisasi kemasyarakatan melalui pengurus untuk lebih inten mengajukan program kemasyarakatan, terlepas dari siapa nantinya yang melaksanakan. Begitu juga keluhan-keluhan banjar atau dusun lebih tepat diikuti dengan pengajuan program pemecahan sehingga bisa langsung dianggarkan melalui APBD. Ruang waktu penyusunan APBD hendaknya diperpanjang mulai dari pengajuan rancangan, pembahasan dan pengesahan. Sehingga ada kesempatan bagi masyarakat untuk mengkritisi alokasi anggaran. Namun demikian kualitas program tetap berpulang pada keobyektifan para penentu yakni eksekutif dan legislatif, untuk memilih usulan masyarakat yang paling penting dan mendesak.
Kedua, Membuat sebuah sistem perundang-undangan atau peraturan daerah yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut memperdebatkan alokasi anggaran di rapat pembahasan APBD, atau minimal perwakilan organisasi kemasyarakatan berhak ikut menentukan keputusan. Upaya ini menjadi penting, ketika poses penyampaian aspirasi rakyat oleh kalangan penguasa sudah terkontaminasi kepentingan. Sehingga perwakilan masyarakat mampu menjadi penyeimbang wacana antara kepentingan kelompok penguasa dengan kebutuhan masyarakat. Penyusunan peraturan juga harus diikuti dengan penegakkan hukum yang semestinya. Penegakan hukum dilakukan dari hulu hingga hilir, yakni dari perancangan, pengesahan, pelaksanaan lelang, sampai dengan pengerjaan proyek.
Ketiga, proses pengawasan dilakukan secara holistic dan berkesinambungan baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Pengawasan holistic dilakukan pada seluruh tahapan manajemen anggaran mulai dari planning, organizing, dan actualizing. Pengawasan yang dilakukan disambung dengan eksekusi secara hukum maupun politik. Penguasa yang bermain-main terhadap kebijakan anggaran mesti dituntut pertanggungjawabannya secara hukum. Pada akhirnya masyarakat berhak dan harus mengeksekusi calon legislatif dan eksekutif yang korup melalui pemillu. Sebetulnya eksekusi inilah yang paling obyektif untuk mengurangi praktek kecurangan dalam pemerintahan termasuk pengelolaan anggaran.
Namun demikian semua system yang tercipta akan tidak berarti apa-apa ketika kita semua hanyalah kumpulan orang yang tak mau berkorban bagi pembangunan daerah. Baik sebagai penguasa maupun sebagai masyarakat. Untuk itu yang terpenting adalah berhentilah kita semua menjadi calo-calo bagi nafsu kita sendiri. Mulailah berpikir menjadi misionaris-misionaris kemanusiaan dan alam bagi kesejahteraan umat manusia dan semesta.

No comments:

Post a Comment