Terkadang
kesempatan menjabat dijadikan ajang untuk mengeruk keuntungan. Perilaku seperti
itu tercermin dari kebijakan anggaran yang tidak proforsional dan sarat
kepentingan. Mata anggaran hanya mengakomodasi ambisi, keserakahan dan nafsu,
baik pribadi, kelompok, atau golongan tertentu.
Untuk kepentingan pribadi, pejabat sering memprogramkan anggaran hanyalah
untuk pristise, yang sering dipaksakan. Program ini bahkan mengeliminir program
pokok untuk rakyat Karena dibenak sang penguasa, nama besar, hanyalah dicapai
dengan berbuat yang mercusuar. Untuk mendukung ambisi inilah,
sering melabrak
pertimbangan obyektif daerah. Padahal program mercusuar tanpa dukungan sumber
daya manusia daerah yang handal akan produk mercusuar tersebut, maka hanya
menjadi boomerang bagi masyarakatnya sendiri. Kebijakan anggaran semacam ini
akan menjauhkan fungsi pemerintah sebagai pelayam masyarakat. Dan penguasa
sudah menghindar dari esensinya sebagai pengayom dan pelindung rakyat, tetapi
lebih memilih peran sebagai “calo” bagi ambisinya sendiri.
Kebijakan anggaran semacam ini, berpotensi menjadi program yang mangkrak di
tenganh jalan. Program mangkrak tidak hanya menguras anggaran tetapi tidak
menggulirkan ekonomi. Kebijakan-kebijakan semacam inilah yang membuat krisis kian
panjang dan parah. Kebijakan
mercusuar, kebanyakan hanya fisik
oriented dan mengenyampingkan human
resources development. Sehingga ketika pembangunan fisik jadi, tidak langsung
siap operasi, karena sang pengelola belum ada, atau kalaupun ada kemampuannya
masih minim. Akhirnya fasilitas yang ada juga menjadi mangkrak, tak
berpenghuni.
Pejabat pemerintah sebagai kumpulan kelompok-kelompok masyarakat hitrogen terkadang
juga tidak pernah mau melebur dirinya kedalam lembaga pemerintahan yang
homogen. Tetapi mereka masih mengemban misinya masing-masing, baik untuk
kepentingan dirinya sendiri maupun kelompok atau golongannya sendiri. Orang
yang berada didalam pemerintahan adalah orang pemerintah, tidak ada kata lagi
untuk mewakili kelompok-kelompok tertentu. Sehingga pejabat pemerintah
tidaklah merasa sebagai utusan kepentingan kelompok tertentu. Tetapi
mereka adalah utusan kebutuhan masyarakat. Segala tindak tanduk pejabat
pemerintah adalah manifestasi dari usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat secara
umum. Penghianatan terhadap esensi ini melahirkan proses percaloan anggaran
yang semakin parah di lingkaran eksekutif.
Legislatif
sebagai lembaga budgeting bersama
eksekutif memiliki peranan yang vital bagii pengelolaan anggaran yang proforsional.
Karena distribusi keterwakilan anggota legislatif pada wilayah di daerah lebih
proforsional. Namun ketika solidaritas kelompok menjadi pemenang dibanding kebutuhan
daerah secara umum, maka proforsional keterwakilan akan bernilai sama dengan dominasi
kelompok suatu daerah. Kebijakan anggaran sang legislator sangat mempengaruhi
keadilan pembangunan antar desa di sebuah wilayah. Sang legislatif dari
perwakilan suatu wilayah hendaknya memetakan wilayah konstituennya berdasakan
prioritas kebutuhan, bukan atas dasar jumlah suara partai pendukungnya.
Namun
kenyataannya sering kita melihat, jalan di suatu desa bisa rusaknya minta
ampun, tetapi jalan di desa tertentu belum rusak sudah ditambal lagi. Suatu
dusun memiliki fasilitas “jalan semut” (baca gang) yang berbeton bahkan
berasfal, tetapi dusun sebelah jalan
besarnya pun masih geladag. Kalau fenomena ini tidak merupakan hasil kebodohan
pengelolaan anggaran, maka indikasi kesengajaan untuk mementingkan kelompok
atau dusun tertentu adalah jawabannya. Praktek semacam ini,
memberikan gambaran yang gamblang betapa praktek percaloaan anggaran sering
terjadi. Walau untuk kepentingan dusun atau kelompok, ketika itu dilakukan
dengan tidak adil, maka usaha itu adalah kecurangan.
Yang
lebih menyedihkan lagi adalah terjadi proses percaloan anggaran untuk para
rekanan. Para rekanan sebagai pengusaha baik
usaha pengadaan, usaha jasa, maupun usaha lain, akan meloby para penguasa mulai
dari penentuan anggaran. Ketika mental penguasa eksekutif maupun legislatif
bobrok, maka proses percaloan akan terjadi. Sehingga pertimbangan kondisi
obyektif daerah dan tujuan pembangunan yang sebenarnya akan terlempar, yang ada
hanya lomba-lomba komisi dan persentase. Ternyata proses-proses ini disinyalir
sangat sering terjadi. Untuk hal tersebut, maka praktek-praktek percaloan
anggaran, harus segera dihentikan.
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan untuk menghindari praktek-praktek percaloan
anggaran tersebut. Pertama, menghidupkan semangat fartisipatif pada pembuatan
APBD oleh masyarakat. Masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan atau
perwakilan wilayah, hendaknya mampu menekan proses ini, mulai dari perancangan hingga
pengesahan. Organisasi kemasyarakatan melalui pengurus untuk lebih inten
mengajukan program kemasyarakatan, terlepas dari siapa nantinya yang
melaksanakan. Begitu juga keluhan-keluhan banjar atau dusun lebih tepat diikuti
dengan pengajuan program pemecahan sehingga bisa langsung dianggarkan melalui
APBD. Ruang waktu penyusunan APBD hendaknya diperpanjang mulai dari pengajuan
rancangan, pembahasan dan pengesahan. Sehingga ada kesempatan bagi masyarakat
untuk mengkritisi alokasi anggaran. Namun demikian kualitas program tetap
berpulang pada keobyektifan para penentu yakni eksekutif dan legislatif, untuk
memilih usulan masyarakat yang paling penting dan mendesak.
Kedua, Membuat sebuah sistem perundang-undangan atau peraturan daerah yang
memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut memperdebatkan alokasi anggaran di
rapat pembahasan APBD, atau minimal perwakilan organisasi kemasyarakatan berhak
ikut menentukan keputusan. Upaya ini menjadi penting, ketika poses penyampaian
aspirasi rakyat oleh kalangan penguasa sudah terkontaminasi kepentingan. Sehingga
perwakilan masyarakat mampu menjadi penyeimbang wacana antara kepentingan
kelompok penguasa dengan kebutuhan masyarakat. Penyusunan peraturan juga harus
diikuti dengan penegakkan hukum yang semestinya. Penegakan hukum dilakukan dari
hulu hingga hilir, yakni dari perancangan, pengesahan, pelaksanaan lelang,
sampai dengan pengerjaan proyek.
Ketiga, proses
pengawasan dilakukan secara holistic dan berkesinambungan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah. Pengawasan holistic dilakukan pada seluruh tahapan manajemen
anggaran mulai dari planning, organizing,
dan actualizing. Pengawasan yang dilakukan disambung dengan eksekusi secara
hukum maupun politik. Penguasa yang bermain-main terhadap kebijakan anggaran mesti
dituntut pertanggungjawabannya secara hukum. Pada akhirnya masyarakat berhak
dan harus mengeksekusi calon legislatif dan eksekutif yang korup melalui pemillu.
Sebetulnya eksekusi inilah yang paling obyektif untuk mengurangi praktek
kecurangan dalam pemerintahan termasuk pengelolaan anggaran.
Namun
demikian semua system yang tercipta akan tidak berarti apa-apa ketika kita
semua hanyalah kumpulan orang yang tak mau berkorban bagi pembangunan daerah.
Baik sebagai penguasa maupun sebagai masyarakat. Untuk itu yang terpenting
adalah berhentilah kita semua menjadi calo-calo bagi nafsu kita sendiri.
Mulailah berpikir menjadi misionaris-misionaris kemanusiaan dan alam bagi
kesejahteraan umat manusia dan semesta.
No comments:
Post a Comment