Banyak ahli
mengungkapkan, persoalan krisis di Indonesia sekarang ini bermuara pada pola
pembangunan ekonomi yg sangat sentralistik dan mengedepankan kelompok
“pengusaha besar” daripada pengusaha kecil menengah. Mereka memanfaatkan
keterdekatan dengan akses birokrasi untuk mendapatkan privilege dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sudah
berkali-kali terjadi pergantian kepemimpinan dengan berbagai pola pembangunan
yang berbeda, tetapi tidak bisa menyelesaikan berbagai krisis dengan tepat (Matulessy dalam http/:www.untag-sby.ac.id).
Nampaknya
“budaya malu” yang menjadi screening
dan nilai untuk tidak melakukan perbuatan negatif, mulai beringsut lenyap.
Orang berlomba-lomba untuk “mempermalukan diri” atau “membuat malu”, bahkan
melenyapkan rasa malu dalam dirinya. Inilah salah satu hal yang membedakan
dengan budaya orang Jepang yang akan turun dari jabatannya kalau mereka gagal.
Bahkan ada yang memilih ber-hara kiri untuk menutupi rasa malu.
Persoalannya
adalah sampai seberapa jauh budaya malu ini menjadi sebuah patokan dasar
seorang pemimpin dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Padahal sebagai
salah satu bentuk nilai, rasa malu akan menjauhkan kita untuk bertindak
patologis ke masyarakat luas. Selain itu lebih jauh lagi, malu akan menjadi
“rem” untuk tidak bertindak negatif; merekatkan solidaritas dengan orang lain;
kontrol diri bahwa setiap tindakan harus pula mempertimbangkan keberadaan dan
dampaknya bagi orang lain; mengarahkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan;
menjaga agar tidak berbuat semaunya sendiri karena banyak orang yang akan
melihat, memantau dan menilai; membuat seseorang tidak lagi mempertimbangkan
sesuatu berdasarkan egonya; menjadi cermin bagi dirinya untuk selalu melihat segala
sesuatu dari sisi orang lain.
Namun
demikian, perkembangan kehidupan membuat nilai-nilai pun akan berubah. Begitu
juga nilai “malu” pun agar bergeser. Sebagai sebuah nilai maka mau tidak mau
akan sangat tergantung pada orang-orang yang berada pada suatu system. Pemimpin
yang berubah akan menggerakkan pula perubahan pada system yang ujung-ujungnya
juga akan merubah nilai-nilai itu sendiri. Sebuah penelitian tentang pengaruh
modernisasi di Singapura oleh Chen, ditemukan terjadinya perubahan besar dalam
struktur dan nilai-nilai hidup di masyarakat, terjadi kerenggangan kekerabatan,
hubungan antara manusia yang tidak lagi intens, dan aspirasi yang mengarah pada
hal-hal yang materiil.
Begitu juga
penelitian oleh seorang ahli Psikologi Sosial, yakni Sherif yang menemukan
bahwa nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang, mulai dibangun oleh
orang-orang yang berada di dalam kelompoknya, yang kemudian akan terjadi
perubahan nilai, seiiring terjadinya interaksi sosial dengan kelompok yang
lain. Hal ini didukung pula oleh pendapat seorang ahli psikologi lintas budaya,
Berry yang
mengungkapkan bahwa ada sebuah hubungan yang berkelanjutan dan timbal balik
antara kondisi ekologis dan sosio politis dengan perilaku seseorang (Matulessy dalam http/:www.untag-sby.ac.id).
Jadi maukah
seorang pemimpin mengkaji kembali nilai-nilai malu untuk digunakan dalam
berbagai bidang kehidupannya? Hal itu sangat menentukan perubahan yang ada pada
sebuah sistem di negeri yang carut marut ini. Rasa malu dari para pemimpin akan
menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat untuk berperilaku yang sama.
Dari fenomena
nasional, yakni rendahnya budaya malu sehingga menyebabkan krisis kepemimpinan,
berupa penurunan tingkat kepercayaan, bahkan sikap acuh yang menggejala, maka
dibutuhkan pemimpin yang peka akan suasana psikologis masyarakatnya. Maka yang terpenting dari
itu semua adalah “pemimpin yang memiliki karakter”. Pemimpin yang berkarakter baiklah yang
akan mampu memimpin dengan bijaksana terlepas dari ikatan ruang dan waktu.
Pemimpin yang berkarakter yakni pemimpin yang mampu mengharmoniskan persilangan
kepentingan spiritual (religius), pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta,
kepentingan kemanusiaan (humanisme), kepentingan bangsa (nasionalisme) dan
kepentingan masa depan atau kemajuan (eksistensi).
No comments:
Post a Comment