Wednesday, April 8, 2015

Kepemimpinan Berbudaya Malu



Banyak ahli mengungkapkan, persoalan krisis di Indonesia sekarang ini bermuara pada pola pembangunan ekonomi yg sangat sentralistik dan mengedepankan kelompok “pengusaha besar” daripada pengusaha kecil menengah. Mereka memanfaatkan keterdekatan dengan akses birokrasi untuk mendapatkan privilege dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sudah berkali-kali terjadi pergantian kepemimpinan dengan berbagai pola pembangunan yang berbeda, tetapi tidak bisa menyelesaikan berbagai krisis dengan tepat (Matulessy dalam http/:www.untag-sby.ac.id).
Mencermati dari berbagai fenomena yang ada di Indonesia, nampak sekali bahwa political trust menjadi sebuah penyebab yang lebih banyak berperan mengganggu perkembangan negara dibandingkan hanya mengupas persoalan ekonomi. Kepercayaan pada sistem politik, termasuk kepercayaan terhadap pemimpin dan kepemimpinan menjadi hal yang sangat menentukan arah kemajuan negara ini. Pada saat pemimpin tidak lagi dipercaya, sulit bagi seseorang untuk mengikuti aturan yang dibuat atau menghormati kebijakan yang dikeluarkan. Sementara itu ketidakpercayaan pada para pemimpin bermuara pada apa yang dilakukan oleh mereka sendiri. Mereka tidak malu untuk tetap berkuasa walaupun banyak orang yang menyangsikan, tidak malu untuk melanggar sumpah sebagai pejabat negara yang seharusnya berfikir untuk kepentingan rakyat, tidak malu untuk tetap menduduki jabatan walaupun sudah diberi vonis bersalah, tidak malu untuk tetap berkuasa, meski tidak menghasilkan perubahan dalam kepemimpinannya. Disamping tidak malu-malu untuk meminta uang pada saat ada orang lain yang mengalami kesulitan.
Nampaknya “budaya malu” yang menjadi screening dan nilai untuk tidak melakukan perbuatan negatif, mulai beringsut lenyap. Orang berlomba-lomba untuk “mempermalukan diri” atau “membuat malu”, bahkan melenyapkan rasa malu dalam dirinya. Inilah salah satu hal yang membedakan dengan budaya orang Jepang yang akan turun dari jabatannya kalau mereka gagal. Bahkan ada yang memilih ber-hara kiri untuk menutupi rasa malu.
Persoalannya adalah sampai seberapa jauh budaya malu ini menjadi sebuah patokan dasar seorang pemimpin dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Padahal sebagai salah satu bentuk nilai, rasa malu akan menjauhkan kita untuk bertindak patologis ke masyarakat luas. Selain itu lebih jauh lagi, malu akan menjadi “rem” untuk tidak bertindak negatif; merekatkan solidaritas dengan orang lain; kontrol diri bahwa setiap tindakan harus pula mempertimbangkan keberadaan dan dampaknya bagi orang lain; mengarahkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan; menjaga agar tidak berbuat semaunya sendiri karena banyak orang yang akan melihat, memantau dan menilai; membuat seseorang tidak lagi mempertimbangkan sesuatu berdasarkan egonya; menjadi cermin bagi dirinya untuk selalu melihat segala sesuatu dari sisi orang lain.
Namun demikian, perkembangan kehidupan membuat nilai-nilai pun akan berubah. Begitu juga nilai “malu” pun agar bergeser. Sebagai sebuah nilai maka mau tidak mau akan sangat tergantung pada orang-orang yang berada pada suatu system. Pemimpin yang berubah akan menggerakkan pula perubahan pada system yang ujung-ujungnya juga akan merubah nilai-nilai itu sendiri. Sebuah penelitian tentang pengaruh modernisasi di Singapura oleh Chen, ditemukan terjadinya perubahan besar dalam struktur dan nilai-nilai hidup di masyarakat, terjadi kerenggangan kekerabatan, hubungan antara manusia yang tidak lagi intens, dan aspirasi yang mengarah pada hal-hal yang materiil.
Begitu juga penelitian oleh seorang ahli Psikologi Sosial, yakni Sherif yang menemukan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang, mulai dibangun oleh orang-orang yang berada di dalam kelompoknya, yang kemudian akan terjadi perubahan nilai, seiiring terjadinya interaksi sosial dengan kelompok yang lain. Hal ini didukung pula oleh pendapat seorang ahli psikologi lintas budaya, Berry yang mengungkapkan bahwa ada sebuah hubungan yang berkelanjutan dan timbal balik antara kondisi ekologis dan sosio politis dengan perilaku seseorang (Matulessy dalam http/:www.untag-sby.ac.id).
Jadi maukah seorang pemimpin mengkaji kembali nilai-nilai malu untuk digunakan dalam berbagai bidang kehidupannya? Hal itu sangat menentukan perubahan yang ada pada sebuah sistem di negeri yang carut marut ini. Rasa malu dari para pemimpin akan menjadi contoh dan panutan bagi masyarakat untuk berperilaku yang sama.
Dari fenomena nasional, yakni rendahnya budaya malu sehingga menyebabkan krisis kepemimpinan, berupa penurunan tingkat kepercayaan, bahkan sikap acuh yang menggejala, maka dibutuhkan pemimpin yang peka akan suasana psikologis masyarakatnya. Maka yang terpenting dari itu semua adalah “pemimpin yang memiliki karakter”. Pemimpin yang berkarakter baiklah yang akan mampu memimpin dengan bijaksana terlepas dari ikatan ruang dan waktu. Pemimpin yang berkarakter yakni pemimpin yang mampu mengharmoniskan persilangan kepentingan spiritual (religius), pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta, kepentingan kemanusiaan (humanisme), kepentingan bangsa (nasionalisme) dan kepentingan masa depan atau kemajuan (eksistensi).

No comments:

Post a Comment