Karya Umum



rombak mental “ningrat” pejabat

          Pada negara demokrasi, keberadaan aparatur pemerintah termasuk pejabat (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) adalah sebagai “pelayan” dan “pengabdi” kepentingan masyarakat. Dengan demikian segala kebijakan selalu bertitik pusat pada kepentingan rakyat. Dan fasilitas yang didapat juga mempertimbangkan kebermanfaatan dan kelayakannya bagi proses pelayanan. Ketika fasilitas yang dipergunakan jauh melebihi standar (baca mewah), maka proses pemberian pelayanan akan timpang bahasa akrabnya nyeleneh, anak muda bilang norak. Mental ke-ningrat-an seperti ini  tidaklah adil ketika harus mengorbankan anggaran lain yang jauh lebih penting. Fenomena itu sama artinya dengan “tertawa diatas tangisan rakyat”.
            Kebijakan pemanjaan pejabat melalui peningkatan fasilitas harus dicermati oleh kita semua. Ada beberapa hal yang menyalahkan kebijakan tersebut. Pertama, aturan institusi yang berwenang telah memberikan garis standarisasi fasilitas yang boleh diterima oleh pejabat daerah. Ketika melanggar aturan itu, maka secara hukum bertentangan dan perilaku seperti ini bisa diproses secara hukum. Masyarakat berhak menuntut secara perdata ataupun pidana. Karena pelanggaran terhadap aturan standarasisasi tiada lain merupakan tindak korupsi. Disinilah diperlukan kejelian rakyat, kepedulian lembaga kemasyarakatan dan keberanian untuk mengungkap dan memerangi ulah oknum pejabat seperti ini.
Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat di daerahnya juga menjadi indikator kelayakan sebuah fasilitas pejabat daerah. Sebagai pejabat daerah pada sebuah daerah yang miskin, baik dari pendapatan asli daerah, pendapatan perkapita masyarakat, daya beli, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, secara etika akan malu menggunakan mobil dinas mewah, rumah dinas yang megah, dan fasilitas wah lainnya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukanlah satu-satunya indikator yang menyatakan sebuah daerah kaya atau miskin. Karena daerah kaya selain memiliki PAD yang besar juga kesejahteraan rakyat yang tinggi. Sebuah daerah bisa jadi memiliki PAD selangit tetapi rakyatnya diliputi kemelaratam ekonomi dan keterbelakangan pendidikan. Kesejahteraan rakyat terletak pada bagaimana sebuah daerah berbagi dengan modal PAD untuk pengembangan dan pemberdayaan rakyat. Dengan demikian pejabat daerah tidak mesti arogan mengatakan daerahnya kaya hanya karena tinggi PADnya, padahal rakyatnya diliputi kemiskinan, dan kemelaratan.  Dan dengan alasan PAD tinggi mengusulkan fasilitas yang super mewah. Sekaya apapun sebuah daerah tetap harus memenuhi standar kelayakan yang telah diatur.
Ketiga, tuntutan fasilitas yang lebih baik, tentunya diikuti dengan pelayanan yang lebih prima terhadap masyarakat. Dan ada sebuah inovasi dalam pengembangan daerah, hingga rakyat terberdayakan. Bukan sebaliknya, pada saat penganggaran mobil mewah malah diikuti dengan kebijakan menaikkan kewajiban pungutan kepada rakyat. Baik itu pungutan parkir, pajak bangunan, dan pungutan-pungutan lain yang belumlah urgen untuk ditingkatkan. Kalau fenomena ini terjadi, maka pejabat tersebut bukanlah sebagai pelindung masyarakat tetapi “pejabat pemeras rakyat”. Tidak ada alasan pembenar  bagi kebijakan-kebijakan seperti itu.
Padahal justru pelayanan yang baik adalah pelayanan yang menggunakan fasilitas minim dengan tingkat kepuasan rakyat yang besar. Bukan pelayanan yang boros anggaran tetapi dengan efektifitas pelayanan yang bobrok. Pejabat sebagai pemimpin pemerintahan ibarat direksi dalam sebuah perusahaan. Justru pejabat daerah memiliki asset yang luar biasa untuk dikelola dibanding sang direksi dengan aset terbatas. Tetapi malah pemegang saham sebuah perusahaan menjadi kaya raya dibanding rakyat pemilik saham daerah yang semakin miskin. Kedua hal itu memang tidak bisa dikomparasikan, karena kondisinya memang berbeda. Tetapi minimal pemerintah daerah mengusahakan “kemiskinan rakyat” kian menurun. Sehingga ada hasil dari kinerja pemerintah daerah. Ada hal yang perlu dibanggakan sebagai “direksi” pemerintah daerah.
            Namun masyarakat juga harus tersadar, dari tipuan dan janji yang kosong dari oknum pejabat pemerintah. Rakyat adalah pemilik sah daerah ini. Untuk itu rakyatlah yang berkuasa. Namun untuk mewujudkan kekuasaan rakyat, diperlukan kesadaran, dan kepedulian  yang tinggi  terhadap nasib daerah dan rakyat. Ketika ketidak adilan dilakukan oleh oknum pejabat pemerintah, maka harus dilawan. Perlawanan harus dilakukan serempak oleh rakyat. Kalau tidak demikian, maka rakyat hanya akan berhenti pada penderitaan. Budaya koh ngomong, berani hanya mengeluh di rumah, harus digeser kepada gerakan diplomasi formal melalui lembaga-lembaga formal. Sehingga rakyat memiliki bargaining untuk mempresser pemerintah.
            Disamping itu, pejabat daerah tidak mesti diberi penghormatan yang berlebihan dan cendrung berpura-pura. Karena prosesi-prosesi seperti itu mengindikasikan ketundukan rakyat terhadap segala hal yang dilakukan oknum pejabat. Prosesi penyambutan sebagai bentuk budaya peng-ningrat-an para pejabat ketika berkunjung adalah tindakan yang kurang tepat. Budaya-seperti ini akan membuat masyarakat penuh rekayasa. Pada prosesi penyambutan masyarakat dipaksa untuk tersenyum, walaupun dalam suasana sakit dan perut kosong. Laporan-laporan yang tidak obyektif pun sering disampaikan untuk menyenangkan para pejabat.
            Jalan-jalan disulap bersih mengkilat, padahal sejatinya dalam keseharian serakan sampah tak pernah terurus. Hiasan dipasang disana sini, padahal semula plang nama dusun pun pasangannya sampai miring tiada yang peduli. Semua hanya untuk sukses penyambutan dan pejabat yang datang senang. Perilaku ini adalah penimbunan kebobrokan yang sangat merugikan kedua pihak, baik masyarakat sendiri maupun pejabat yang datang. Masyarakat tidak akan pernah berubah dari mental “kaula” menjadi masyarakat yang berdaya dan mandiri. Pejabat sendiri juga merasa terbodohi dan tidak bisa memetakan wilayah secara obyektif untuk mengeluarkan suatu kebijakan.
            Alasan masyarakat mengadakan prosesi penyambutan untuk mendapat bantuan pemerintah daerah, adalah salah besar. Pemerintah daerah adalah wajib hukumnya mendistribusikan dana pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat dalam unit desa adat atau banjar adat atau organisasi lainnya. Sehingga pandangan bahwa pemerintah daerah membantu desa adat atau organisasi lainnya adalah keliru. Dana yang dinilai selama ini sebagai sumbangan, adalah sebetulnya dana syah milik rakyat dan memang untuk mereka. Untuk itu perilaku-perilaku me”ningrat”kan pejabat pemerintah sudah tidak jamannya lagi dilakukan. Ketika sang pejabat harus turun dari jabatannya, tidak akan merasa rendah diri atau terlecehkan. Dengan pandangan yang proporsional dan wajar baik kepada pejabat pemerintah, maupun rakyat biasa akan menyejukkan suasana demokratisasi berbangsa dan bernegara. Kesejajaran ini penting untuk membangun harmoni dan kehangatan demokrasi.

No comments:

Post a Comment