28
Oktober 1928, kurang lebih 87 tahun yang lalu. Para pemuda Indonesia
yang tergabung dalam berbagai organisasi kepemudaan berskala daerah
maupun nasional, berbasis agama maupun kesukuan, meleburkan diri dalam
idealisme kebangsaan. Idealisme yang menanggalkan berbagai kepentingan
pribadi, pertalian darah, kesukuan maupun agama. Idealisme yang murni,
dari nurani nan suci. Semestinya nilai-nilai yang terkandung dari
peristiwa kebangsaan tersebut selalu terpatri dibenak dan menjiwai
setiap langkah pemuda Indonesia.
Refleksi gerakan kepemudaan baik luar maupun dalam negeri, mencerminkan
komitmen komunal yang tak terbantahkan. Pemuda adalah bagian tak
terpisahkan dari tonggak sejarah. Pengalaman reformasi bangsa-bangsa di
dunia sangat jarang tanpa gerakan revolusioner pemudanya. Kekaisaran
Cina menjadi Republik Cina, kemerdekaan bangsa-bangsa Afrika maupun Asia
adalah bukti sumbangan gerakan revolusioner kaum muda. Di Indonesia
sendiri paham kebangsaan justru terlahir dari pikiran pemuda seperti
Sutomo, Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lain yang notabene diusia
muda.
Namun belakangan
idealisme seperti itu kian menipis. Gerakan-gerakan yang dilakukan
sering terjadi dari kolaborasi kepentingan. Jauh dari kemurnian ide dan
kejujuran. Semangat kebangsaan pun kian terkikis oleh mengkristalnya
semangat-semangat kesukuan, kedaerahan, gerakan satu darah, dan ambisi
golongan-golongan. Kasus pengeboman di berbagai daerah, kerusuhan di
Poso, Papua adalah cerminan kekerdilan semangat idealisme kebangsaan.
Peristiwa ini merupakan kemunduran sejarah kebangsaan. Mengapa idealisme
kian memudar dikalangan kita semua ? Ada beberapa alasan yang dapat
menjelaskan hal itu semua, yakni.
Pertama usia. Pengalaman banyak tokoh mengindikasikan bahwa sosok muda
cerminan idealism, dan kemurnian hati. Tetapi perjuangan idealism kaum
tua tidaklah secerah di usia mudanya. Bahkan idealism itu terkubur
seiring berdetaknya waktu hidup manusia. Apakah usia berpengaruh
terhadap gereget idealism seorang ? Kalau ini ia, maka pola kepemimpian
harus digeser dari golongan tua kepada golongan muda atau minimal
dibatasi masa waktunya. Dari indikasi ini kematangan usia yang disertai
kematangan emosional kaum tua tidak menjamin kematangan kepemimpinan.
Justru terjadi anomali kepemimpinan. Ketika usia dewasa, dan emosional
matang, maka idealisme digerogoti oleh banyak pertimbangan, hingga
terkorbankan.
Kedua ketertindasan vs
keistimewaan. Idealisme hanya milik orang tertindas. Ketika seseorang
dimarginalkan, maka mereka mengeluh akan dambaan sebuah gagasan idealis.
Sebuah keadaan yang adil dari perlakuan subyektifitas penguasa. Kalau
orang melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya, dan acuh terhadap
ketidakadilan pada orang lain, maka itu bukanlah sebuah idealisme.
Tetapi kenaifan idealisme. Seorang idealis sejati bergerak ketika
ketidakadilan muncul terhadap siapa pun. Namun ketika seseorang
termanjakan oleh kekuasaan, maka idealisme akan terkubur. Rasa sungkan “ewuh pakewuh” akan selalu merasuki setiap pergolakan dan pembrontakan jiwa sang idealis.
Ketiga
adalah kepentingan. Idealisme terhimpit ketika kepentingan merasuk.
Apalagi kepentingan-kepentingan terlahir dari rahim pertalian darah,
persukuan, agama, atau pertautan kepentingan yang serupa. Kepentingan
itu sangat mengancam tegak, keras, dan kokohnya formulasi idealisme yang
telah terbangun. Kalau ditambah dengan ambisi-ambisi pribadi, maka
idealisme hanyalah sandiwara yang bertopeng. Diwilayah ini idealisme
hanyalah komoditi yang diperjualbelikan.
Keempat
adalah kompleksnya problematika. Masalah ini adalah paling rumit.
Terkadang dan bahkan sering bagi penguasa lembaga-lembaga formal apalagi
pemerintahan menemui permasalahan yang komplek. Tidak sesederhana
pengkritisan orang yang berada diluar sistem. Ganjalan-ganjalan yang
bersifat teknis malah mendominasi gagalnya idealisme terejawantahkan.
Disinilah diperlukan tokoh idealis yang cerdas, berani, dan jujur.
Ketika hal-hal yang tidak prinsip menjadi penghalang, seorang idealis
harus berani memutus dan meng-cut ganjalan itu. Sehingga hal teknis
tidak justru menjadi prinsip, dan hal prinsip justru kabur.
Pemotongan-pemotongan birokrasi yang tidak perlu baik pada organisasi
legal dan formal apalagi nonformal harus berani dilakukan. Hal ini
menjadi penting ketika tujuan besar “idealisme” terhalangi untuk mencari
tujuannya.
Kelima adalah
kemunafikan. Yang paling fatal adalah idealisme hanyalah “kemunafikan”
belaka. Idealism terlahir karena ketidakpuasan atas bagian yang
diberikan. Sehingga sikapnya hanyalah menempatkan posisi selalu
berseberangan pada penguasa. Pertimbangan benar-salah, baik-buruk,
konstruktif-destruktif, tidak dipakai dalam pengambilan putusan.
Idealisme semacam ini sangat berbahaya. Masyarakat menjadi korban ibarat
“telur diapit batu”. Masyarakat dihadapkan hanya pada dua pilihan yang
sama seramnya, antara harimau dan buaya.
Melemahnya
idealisme dan tergesernya makna, menjadikan masyarakat semakin
terkorbankan. Masyarakat tidak terdidik untuk sportif. Bersikap untuk
jujur, menyalahkan hal yang keliru dan memberikan penghargaan pada yang
benar. Masyarakat hanya dijadikan penonton dagelan yang tidak menghibur.
Dampak terburuk adalah terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap
segala bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh lembaga formal maupun non
formal. Ketika fenomena ini terjadi, maka negara akan menemui kegagalan
untuk membangun negeri.
Mudah-mudahan
melalui perayaan sumpah pemuda yang ke 78 tahun ini idealisme bernegara
yang dijiwai dengan tiga sumpah, yakni bertanah air, berbangsa dan
berbahasa satu yakni Indonesia senantiasa menjadi ‘setetes embun yang
melegakan dahaga dipadang pasir, dan menjadi setitik cahaya ditengah
gelap gulita”. Moment perayaan Sumpah Pemuda tidak semata sebagai
momentum ceremonial. Tetapi lebih dimaknai sebagai perenungan kembali
nilai-nilai dan semangat sumpah pemuda. Idealisme dan semangat
kebangsaan hendaknya menjadi yang utama dari semua pilihan gerakan.
Konsistensi
pemerintah terhadap segala consensus legal dan konstitusi menjadi
inspirasi perubahan bagi kembalinya semangat idealisme masyarakat.
Hilangnya dagelan-dagelan politik, permainan hukum yang tidak perlu
menambah matangnya kepercayaan pemuda dan masyarakat akan arti penting
sebuah idealisme. Dengan demikian pertambahan usia bangsa disertai pula
dengan kematangan jati diri dan idealisme untuk mewujudkan cita-cita
luhur seperti yang dimamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
No comments:
Post a Comment