Sunday, December 7, 2014

Idealisme yang kian Hilang

28 Oktober 1928, kurang lebih 87 tahun yang lalu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam berbagai organisasi kepemudaan berskala daerah maupun nasional, berbasis agama maupun kesukuan, meleburkan diri dalam idealisme kebangsaan. Idealisme yang menanggalkan berbagai kepentingan pribadi, pertalian darah, kesukuan maupun agama. Idealisme yang murni, dari nurani nan suci. Semestinya nilai-nilai yang terkandung dari peristiwa kebangsaan tersebut selalu terpatri dibenak dan menjiwai setiap langkah pemuda Indonesia.
            Refleksi gerakan kepemudaan baik luar maupun dalam negeri, mencerminkan komitmen komunal yang tak terbantahkan. Pemuda adalah bagian tak terpisahkan dari tonggak sejarah. Pengalaman reformasi bangsa-bangsa di dunia sangat jarang tanpa gerakan revolusioner pemudanya. Kekaisaran Cina menjadi Republik Cina, kemerdekaan bangsa-bangsa Afrika maupun Asia adalah bukti sumbangan gerakan revolusioner kaum muda. Di Indonesia sendiri paham kebangsaan justru terlahir dari pikiran pemuda seperti Sutomo, Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh  lain yang notabene diusia muda.

            Namun belakangan idealisme seperti itu kian menipis. Gerakan-gerakan yang dilakukan sering terjadi dari kolaborasi kepentingan. Jauh dari kemurnian ide dan kejujuran. Semangat kebangsaan pun kian terkikis oleh mengkristalnya semangat-semangat kesukuan, kedaerahan, gerakan satu darah, dan ambisi golongan-golongan. Kasus pengeboman di berbagai daerah, kerusuhan di Poso, Papua adalah cerminan kekerdilan semangat idealisme kebangsaan. Peristiwa ini merupakan kemunduran sejarah kebangsaan. Mengapa idealisme kian memudar dikalangan kita semua ? Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan hal itu semua, yakni.
            Pertama usia. Pengalaman banyak tokoh mengindikasikan bahwa sosok muda cerminan idealism, dan kemurnian hati. Tetapi perjuangan idealism kaum tua tidaklah secerah di usia mudanya. Bahkan idealism itu terkubur seiring berdetaknya waktu hidup manusia. Apakah usia berpengaruh terhadap gereget idealism seorang ? Kalau ini ia, maka pola kepemimpian  harus digeser dari golongan tua kepada golongan muda atau minimal dibatasi masa waktunya. Dari indikasi ini kematangan usia yang disertai kematangan emosional kaum tua tidak menjamin kematangan kepemimpinan. Justru terjadi anomali kepemimpinan. Ketika usia dewasa, dan emosional matang, maka idealisme digerogoti oleh banyak pertimbangan, hingga terkorbankan.
Kedua ketertindasan vs keistimewaan. Idealisme hanya milik orang tertindas. Ketika seseorang dimarginalkan, maka mereka mengeluh akan dambaan sebuah gagasan idealis. Sebuah keadaan yang adil dari perlakuan subyektifitas penguasa. Kalau orang melawan ketidakadilan yang menimpa dirinya, dan acuh terhadap ketidakadilan pada orang lain, maka itu bukanlah sebuah idealisme. Tetapi kenaifan idealisme. Seorang idealis sejati bergerak ketika ketidakadilan muncul terhadap siapa pun. Namun ketika seseorang termanjakan oleh kekuasaan, maka idealisme akan terkubur. Rasa sungkan “ewuh pakewuh” akan selalu merasuki setiap pergolakan dan pembrontakan jiwa sang idealis.
Ketiga adalah kepentingan. Idealisme terhimpit ketika kepentingan merasuk. Apalagi kepentingan-kepentingan terlahir dari rahim pertalian darah, persukuan, agama, atau pertautan kepentingan yang serupa. Kepentingan itu sangat mengancam tegak, keras, dan kokohnya formulasi idealisme yang telah terbangun. Kalau ditambah dengan ambisi-ambisi pribadi, maka idealisme hanyalah sandiwara yang bertopeng. Diwilayah ini idealisme hanyalah komoditi yang diperjualbelikan.
Keempat adalah kompleksnya problematika. Masalah ini adalah paling rumit. Terkadang dan bahkan sering bagi penguasa lembaga-lembaga formal apalagi pemerintahan menemui permasalahan yang komplek. Tidak sesederhana pengkritisan orang yang berada diluar sistem. Ganjalan-ganjalan yang bersifat teknis malah mendominasi gagalnya idealisme terejawantahkan. Disinilah diperlukan tokoh idealis yang cerdas, berani, dan jujur. Ketika hal-hal yang tidak prinsip menjadi penghalang, seorang idealis harus berani memutus dan meng-cut ganjalan itu. Sehingga hal teknis tidak justru menjadi prinsip, dan hal prinsip justru kabur. Pemotongan-pemotongan birokrasi yang tidak perlu baik pada organisasi legal dan formal apalagi nonformal harus berani dilakukan. Hal ini menjadi penting ketika tujuan besar “idealisme” terhalangi untuk mencari tujuannya.
Kelima adalah kemunafikan. Yang paling fatal adalah idealisme hanyalah “kemunafikan” belaka. Idealism terlahir karena ketidakpuasan atas bagian yang diberikan. Sehingga sikapnya hanyalah menempatkan posisi selalu berseberangan pada penguasa. Pertimbangan benar-salah, baik-buruk, konstruktif-destruktif, tidak dipakai dalam pengambilan putusan. Idealisme semacam ini sangat berbahaya. Masyarakat menjadi korban ibarat “telur diapit batu”. Masyarakat dihadapkan hanya pada dua pilihan yang sama seramnya, antara harimau dan buaya.
Melemahnya idealisme  dan tergesernya makna, menjadikan masyarakat semakin terkorbankan. Masyarakat tidak terdidik untuk sportif. Bersikap untuk jujur, menyalahkan hal yang keliru dan memberikan penghargaan pada yang benar. Masyarakat hanya dijadikan penonton dagelan yang tidak menghibur. Dampak terburuk adalah terjadinya ketidakpercayaan masyarakat terhadap segala bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh lembaga formal maupun non formal. Ketika fenomena ini terjadi, maka negara akan menemui kegagalan untuk membangun negeri.
Mudah-mudahan melalui perayaan sumpah pemuda yang ke 78 tahun ini idealisme bernegara yang dijiwai dengan tiga sumpah, yakni bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yakni Indonesia senantiasa menjadi ‘setetes embun yang melegakan dahaga dipadang pasir, dan menjadi setitik cahaya ditengah gelap gulita”. Moment perayaan Sumpah Pemuda tidak semata sebagai momentum ceremonial. Tetapi lebih dimaknai sebagai perenungan kembali nilai-nilai dan semangat sumpah pemuda. Idealisme dan semangat kebangsaan hendaknya menjadi yang utama dari semua pilihan gerakan.
Konsistensi pemerintah terhadap segala consensus legal dan konstitusi menjadi inspirasi perubahan bagi kembalinya semangat idealisme masyarakat. Hilangnya dagelan-dagelan politik, permainan hukum yang tidak perlu menambah matangnya kepercayaan pemuda dan masyarakat akan arti penting sebuah idealisme. Dengan demikian pertambahan usia bangsa disertai pula dengan kematangan jati diri dan idealisme untuk mewujudkan cita-cita luhur seperti yang dimamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

No comments:

Post a Comment